Tuesday, December 23, 2008

Makalah Ku Yang Dulu (2)

FIKIH REALISTIS;
(Upaya Meluruhkan Nash ke Dalam Bingkai Realitas Kekinian)
Oleh: Moh. Nur Salim

Ini adalah pagi, katanya
Namun apakah arti pagi kalau masih ngantuk
Dan otot-otot masih kendur, terpuruk
Tapi cucilah muka dengan semangat menyala
Katanya lantang mengisi ruang

(Rachmat Djoko Pradopo, Matahari Telah Mandi,
dalam AUBADE 1999)

Pendahuluan
Ketika pabrik-pabrik industri canggih meluncurkan produk-produk mutakhirnya, bersamaan dengan itu mereka juga mengeluarkan aturan pemakaian produk-produk spesial tersebut. Mengapa? Karena dengan mematuhi aturan pakai, sebuah produk akan awet dan bisa lebih bermanfaat bagi pemiliknya. Dan yang perlu digarisbawahi, bahwa aturan pakai tersebut “pasti” demi kemaslahatan pemakainya.
Begitu pula -secara sederhana- kita memahami Islam sebagai produk Ilahi dan syariah islamiyah sebagai aturan pakainya. Dan bila pemahaman terhadap kata syariah dikerucutkan, maka akan dipahami identik dengan fikih.
Jika kita diperkenankan untuk menamai peradaban Islam melaului salah satu produknya, maka boleh saja kita menyebutnya dengan ‘peradaban fikih’, sebagaimana peradaban Yunani dikasih aran ‘perdaban filsafat’, juga ketika kita menyebut peradaban Eropa saat ini dengan ‘peradaban ilmu dan teknologi’.
Begitu kental fikih mewarnai segala lingkup kehidupan umat Islam, sehingga maju mundurnya fikih akan turut menentukan aliran ‘desah nafas’ peradaban Islam. Karena itulah kita perlu mengkaji ulang format fikih yang ‘pas’ untuk mengiringi lajunya dinamika kehidupan yang semakin carut-marut dan penuh tantangan ini.

Fikih dan Panorama Peradaban Islam
Dengan membaca sejarah dan mencermati perjalanan sejarah fikih Islam, maka kita akan melihat jelas bahwa fikih -diantaranya- bisa dijadikan standar maju mundurnya peradaban.
Dalam buku-buku sejarah fikih Islam, ulama membagi perjalanan tasyri’ islami ke dalam enam masa; pertama, tasyri’ di masa Nabi. Kedua, tasyri’ di masa Sahabat. Ketiga, tasyri’ di masa Tabi’in. Keempat, tasyri’ di masa setelah Tabi’in (zaman keemasan). Kelima, masa transisi. Keenam, masa kejatuhan Islam ke tangan Hulago Khan dan setelahnya (masa keterpurukan).
Yang perlu kita perhatikan di sini adalah bagaimana kita mengontraskan antara fikih di zaman keemasan dengan fikih di saat umat Islam terpuruk, dengan harapan kita bisa memetik nilai-nilai positif dan supaya kita melihat dengan jelas urgensi fikih dalam turut mewarnai peradaban.
Saat peradaban Islam sedang ‘naik daun’, fikih muncul dalam wajah cantik dan mengagumkan, punya kekuatan seni tersendiri, meluas ke seluruh lini kehidupan, menjawab segala persoalan, sehingga punya ciri khusus yang unggul dari fikih-fikih yang pernah ada. Dan tidaklah terkesan berlebihan jika kita menamai fikih di masa itu dengan era kematangan berpikir, masa tergiat, masa ijtihad mutlak dll.
Sedangkan di masa kemunduran, wajah fikih terlihat suram, dipenuhi dengan borok-borok ta’asub madzhab yang mempersempit ruang lingkup fikih, penutupan pintu ijtihad, menyebaranya budaya taklid yang menyebabkan kemandegan berpikir dsb.
Pada saat kemunduran ini juga ditandai dengan menjamurnya fenomena ‘adu konsep’ yang tidak sedikitpun merubah realitas, tumbuh suburnya perdebatan yang diliputi oleh suasana ta’asub, saling tuduh-menuduh dan sebagainya, seolah-olah medan pertempuran yang sesungguhnya adalah pertemuran pemikiran an sich (bukan realitas). Begitulah gambaran produk fikih yang dikenal dengan istilah ‘fikih iftiradhi’ pada saat itu.
Kalau (penulis) boleh menambahkan pembagian masa perjalanan fikih Islam, maka saat ini adalah masa ke tujuh, yaitu masa kebangkitan fikih Islam (?). Setelah sekian lama ‘bintang-bintang’ di langit Islam redup, maka sudah saatnyalah fajar akan segera menyingsing.
Nah, dari sinilah kita mencoba mencari format fikih yang tepat untuk menyambut datangnya pagi demi mulusnya jalan kebangkitan Islam.

Fikih Realistis; Format Fikih Kontemporer
Zaman semakin kompleks, semrawut, sehingga bermunculan permasalahan-permasalahan baru yang semakain banyak, sebanding dengan perjalanan waktu. Banyak sekali permasalahan-permasalahan fikih yang masih ‘perawan’, belum pernah terjamah oleh buku-buku turast terdahuhlu yang semakin hari semakin bertambah sebagai akibat datangnya tatanan dunia baru; era globalisasi. Di sinilah kita perlu mencurahkan segala kemampuan untuk mencari hukum-hukum fikih terbaik, disamping kita juga harus meninjau ulang hukum-hukum yang telah ada.
Jika kita tidak pintar-pintar menimbang-nimbang lahan permasalahan yang lebih tepat untuk kita kerjakan, kita akan terjebak dalam kubanagan waktu dan tidak akan bisa kembali lagi. Di sinilah kita perlu membuat skala prioritas (fiqh al- aulawiyat) terhadap lahan-lahan garapan kita.
Dalam At-turast Wa al-Tajdid Hasan Hanafi menyayangkan (cara berpikir) yang mengarah pada minimnya observasi langsung terhadap realitas, dan hanya membahas kemungkinan-kemungkinan (secara teoritis), sedangkan (sebenarnya) penelitian secara langsung akan lebih jelas dibanding teori-teori yang berupa pengandaian saja. Karena sebenarnya realitaslah yang merupakan sarana untuk mempertajam analisis.
Hal yang harus kita lakukan sekarang adalah memprioritaskan perhatian pada hal-hal yang sifatnya mendesak, langsung menyentuh jantung permasalahan umat dan tidak terkesan mengambang di awang-awang. Atau, untuk lebih jelasnya kita menyebut fikih seperti ini dengan fikih yang realistis.
Adapun dasar-dasar dalam menerjuni fikih realistis adalah sebagai berikut:
1. tanggap terhadap fenomena alam beserta dampak-dampaknya yang bisa mengkondisikan kehidupan manusia.
2. memahami dinamika sosial sebagai suatu hal yang tak terpisahkan dalam interaksi antara sesama manusia.
3. memahami kondisi psikologi manusia
Dengan demikian, sebuah hukum yang dihasilkan dari konsep diatas akan lebih diterima oleh akal manusia yang dalam hal ini menjadi pelaksana hukum-hukum tersebut.

Hukum; Hasil Dialektika Antara Nash Versus Realitas
Agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. adalah agama terakhir, dan tidak akan ada agama dan rasul lagi setelah itu. Maka konsekuensi logis dari hal itu adalah; Islam harus bisa menjawab segala persolan-persoalan yang tidak akan ada habisnya sampai akhir zaman.
Di sinilah Islam dituntut untuk bisa elastis dalam menyikapi segala macam permasalahan karena hanya elastisitaslah yang bisa bertahan sepanjang zaman.
Jika kita memahami bahwa agama ini sempurna (agama samawi semuanya sempurna), maka sesungguhnya letak kesempurnaan itu ‘ada’ pada kesinambungan penerapannya, dalam artian kelanggengannya dalam berkembang dan menapak masa depan. Karena sesungguhnya manhaj (jika kita mengartikan syariah sebagai manhaj) tidak pernah mencapai kesempurnaan. Karena jika suatu rute perjalanan sudah habis maka selesailah pekerjaan. Dan jika jalan yang yang kita tempuh sudah pol, maka terputuslah dinamika.
Jadi, mengacu pada pernyatan di atas, sebuah hukum seharusnya merupakan hasil dialektika antara ‘perintah langit’ dan ‘realitas bumi’. Sehingga hukum (dalam hal ini sebagai hasil sintesis) senatiasa berubah sejalan dengan berubahnya realitas sebagai anti tesis terhadap nash (sebagai tesisnya).
Ibnu Abidin, seorang ahli fikih madzhab hanafi, mengatakan, “banyak sekali hukum-hukum (dalam satu jenis kasus, Pen.) yang berbeda karena perjalanan waktu; karena perubahan kebiasaan (‘urf), karena adanya hal yang mendesak, atau karena kocar-kacirnya keadaan suatu masa tertentu. Sehingga seandainya hukum itu tidak berubah maka akan menimbulkan kesulitan, merugikan manusia, dan malah menyimpang dari kaidah asal syariah islamiyah yang berdiri atas dasar keringanan dan anti madharat”. Ibnu al-Qayyim, ahli fikih madzhab Hambali, juga menegaskan, “syariah berinti dan berasas pada maslahat dunia dan akhirat, ia (syariat) seluruhnya adalah keadilan, rahmat, maslahat dan hikmah. Sehingga semua permasalahan (dalam syariat) yang keluar dari makna keadilan menuju kedurhakaan, berubah dari makna rahmat menuju sebaliknya, berubah dari maslahat menjadi madharat, dan berbalik dari hikmah menuju kepada hal yang sia-sia, maka permasalahan itu bukan merupakan syariat. Walaupun untuk memahami hal itu (harus) merujuk pada ta’wil.”
Apa yang penulis ketengahkan ini seharusnya diterapkan dalam segala lahan garapan fikih; ibadah, muamalah, maupun ahwal syakhsiyah.

Contoh Studi Kasus
Untuk lebih memperjelas teori yang kita ketengahkan di sini ada baiknya kita mengujinya dalam beberapa kasus yang kita jumpai dalam keseharian kita.
Misalnya dalam ibadah, dalam hal batalnya sholat; ada hukum fikih yang mengatakan bahwa melakukan gerak tiga kali membatalkan shalat (fikih syafi’iah), dengan alasan gerak tiga kali adalah terhitung banyak (dalil awal mengatakan bahwa gerak yang banyak membatalkan shalat). Hukum seperti ini kurang realistis karena tidak tepatnya hubungan antara gerak tiga kali dengan hitungan banyak dalam fikih (bukan nahwu, yang mempunyai kaidah bahwa sedikit-sedikitnya jamak adalah tiga). Seharusnya banyak atau tidaknya gerak dalam batanya shalat kembali pada ‘urf, jika ‘urf mengatakan bahwa orang yang melakukan suatu gerak tertentu terkesan seperti orang yang tidak dalam keadaan shalat, maka gerak semacam itu terhitung banyak. Begitu pula kita memahami sebaliknya.
Contoh lagi dalam ikhtilath antara laki-laki dan perempuan, ada hukum fikih yang mengatakan bahwa hukumnya adalah haram secara mutlak (berdasarkan pada dalil sadd adz-dzarai’ = menutup jalan yang mengarah pada suatu larangan, dalam hal ini zina), maka hukum semacam itu terkesan kurang realistis, karena pada saat-saat tertentu (atau pada suatu bangsa yang berperadaban tinggi, misalnya) kemungkinan ikhtilath yang menuju pada perzinahan sangat kecil, maka hukum yang cenderung memukul rata itu kurang tepat.

Studi Kasus Pada Permasalahan Daulah Islamiyah Dan Tathbiq As-Syariat
Dalam cakrawala pemikiran keislaman yang berkembang hingga saat ini masih berdengung isu seputar daulah Islamiyah dan penarapan syariat. Ada baiknya dalam makalah yang sederhana ini kita berbicara tentang hukum mendirikan daulah islamiyah dan penerapan syariah dan kita mencoba mengaitkan hal itu dengan fikih realistis yang kita bahas ini.
Perlu diketahui di sini bahwa kedua permasalah ini saling terkait, artinya jika ingin menerapkan syariat harus mendirikan daulah islamiyah. Jadi kita cukup membahas satu hukum saja.
Ada beberapa pendapat yang tercatat dalam buku-buku Pemikiran keislaman dalam menyikapi isu seputar daulah islamiyah, Hartono Ahmad Jaiz, menulis satu bab khusus yang membahas tentang daulah islamiyah, yang pada akhirnya dia berkesimpulan bahwa hukumnya adalah wajib, dengan alasan sebagai berikut :
1. Islam bersifat syumul, mencakup segala aspek kehidupan, baik individu mapupun sosial. Dan dari cakupan syariat itu didapati hukum-hukum yang berhubungan dengan negara, pengaturan kekuasaan dll.
2. dalam sunnah Nabi terdapat kata-kata ; amir, imam, dan sulthan yang bayak terulang. Kata-kata tersebut mempunyai makna orang-orang yang memiliki kekuasaan, yaitu pemerintah. Pemerintah merupakan satu aspek dari kenegaraan. Teks-teks tersebut membutuhkan pelaksanaan, dan pelaksanaanya adalah dengan penyelenggaraan negara sesuai pemahaman-pemahaman yang yang dibawa syariat.
3. adanya bai’at yang merupakan akad yang jelas (di masa Nabi) dalam mendirikan pemerintahan Islam.
Berkaca dari konsep fikih realistis, hukum seperti di atas terlihat kurang realistis dilihat dari beberapa poin:
1. penerapan syariah yang sesungguhnya tidak berarti penerapan secara leterlijk terhadap ayat-ayat atau mengulang-ulang perkataan-perkataan pendahulu, tapi dengan cara merujuk pada sumber utama dan kaidah-kaidah umumnya, di samping juga melihat pada realita sejarah yang mengkondisikannya, juga dengan mengkomparasikan antara kedaan waktu itu dan keadaan sekarang.
2. tidak adanya dalil-dalil al-Quran maupun Hadist yang mengandung hukum mendirikan suatu negara maupun peraturan perundang-undangannya. Hal ini sangat maklum karena sesungguhnya dasar dalam agama ini diperuntukkan bagi manusia dan bertujuan mengangkat harkat kemanusiaannya, dan hal itu tidak harus didirikan pada tempat tertentu atau berbentuk sebuah negara tertentu.
3. tidak menetunya kondisi masyarakat, dimana mereka masih hidup dalam kondisi tereksploitasi, miskin dan belum terpenihinya hak-hak mereka, yang merupakan penghalang untuk diterapkannya hukum syariat. Bahkan sebaliknya tidak boleh diterapkan hukuh syariat sebelum terselenggaranya nidham pendidikan islam yang benar, yang menjaga hak-hak dan kewajiban muslimin dan memprasaranai kondusifnya menjalankan iman dan takwa kepada Allah swt.
Setelah kita melihat bagaimana sebanarnya hukum-hukum yang beredar ternyata masih bisa ditinjau ulang dan perlu disesuaikan dengan keadaan tertentu, sehingga terbuktilah bahwa syariah Islam benar-banar “shalihun likulli zamanin wa makanin”.

Ijtihad Realistis
Kehadiran Tatanan Dunia Baru saat ini ditandai dengan kemajuan-kemajuan di segala bidang, terutama di bidang ilmu dan teknologi. Sehingga dampak positif dari semua itu adalah semakin tersibaknya rahasia-rahasia alam yang sebelumnya masih merupakan misteri. Dan yang akhir-akhir ini menggejala di dunia keilmuan adalah kecenderungan spesialisasi dalam suatu bidang tertentu. Hal ini akan menjadikan suatu permaslahan menjadi gamblang.
Jika kita menghendaki terciptanya sebuah hukum yang realistis, maka ijtihad niscaya harus dilakukan oleh kelompok tertentu (amal jama’i) yang terdiri dari para spesialis bidang-bidang yang bersangkutan, disamping juga harus didasarkan pada keadaan setempat, sehingga hasil dari ijtihad seperti itu merupakan realitas yang bisa dipertanggungjawabkan dari berbagai segi.

Catatan Akhir
Dari uraian singkat tentang fikih realistis diatas tampaklah bahwa untuk mengkonsumsi suatu nash tidak boleh dipahami secara harfiah, karena hanya akan menghasilkan hukum yang ‘melangit’ yang tentunya tidak cocok untuk dijadikan konsumsi bagi makhluk yang tinggal di bumi.

Puisi-Puisi Bertebaran


KADO ULANG TAHUN UNTUK SAHABATKU

Sahabat..
lihatlah,
setiap hela nafas yang kau buang
melintas dalam detik-detik waktu kehidupan
membentuk deret-deret kata
kau sebut namanya menit, jam, hari, minggu, tahun dan juga abad

dengarlah,
derap langkah kepergian hari-harimu
mengajak minggu-minggumu berlari
mengelupas dari ikatan
menyusun bulan-bulan
bergerombol, menjelma menjadi tahun-tahun
mengantarmu pada usia ke-21

Sahabat..
jangan kaulelah mengarungi samudra
jangan pusing menjawab soal-soal kehidupan

kuatkan perahumu jika dihempas badai
cukupkan tintamu 'tuk menulis jawaban-jawaban itu

sobat... aku ingin tahu kesungguhanmu
dan ingin melihat keberhasilanmu

Cairo, 4 mei 2002

WUDHU'


Seolah Kau basuh jiwaku
dengan pancaran sinarmu
di saat...
air suci kupercikkan di wajahku
segar jiwaku
segar mukaku
percaya diri aku menghadapmu

Tuhan...
sucikan hatiku sesuci air
bersihkan jasadku sebersih masjidMu
agar ringan langkah kakiku
menuju hadiratMu

Madinat Buust, 27052004


MENGULITI HARI

Detik ini
kukuliti hari
kucampakkan gelap
kulihat warna dalam cahaya
penerang jiwa

kutatap langit nan cerah
dengan sejuta harap merekah
kakipun melangkah penuh gairah

kusambut datangnya pagi
bersih tanpa polusi
kuisi engan percaya diri

17072004

Thursday, September 11, 2008

Puasa; dari kesalehan individual menuju kesalehan sosial

Dari bulan Qamariyyah

Banyak sekali perintah dan larangan Allah yang tidak bisa kita pahami secara total, padahal sesungguhnya dibalik perintah dan larangan itu terdapat suatu hikmah yang luar biasa. Seperti pada penentuan Ramadhan dan puasa. Mengapa Allah harus menetapkannya berdasarkan peritungan bulan bukan pada perhitungan matahari?

Berpuasalah kalian karena melihat (bulan) dan berhari rayalah karena melihatnya. Jika awan menutupi kamu, maka sempurnakanlah bilangan Sya’ban itu tiga puluh hari” (h.r. Bukhari)

Tahun qamariyah adalah perhitungan tahun berdasarkan bulan mengelilingi bumi, sedangkan tahun Syamsiyah perhitungan tahun berdasarkan bumi mengelilingi matahari. Tahun qamariyah menghasilkan kalender Hijriyah sedangkan tahun syamsiyah menghasilkan kalender Masehi.

Penentuan Ramadhan yang berdasarkan tahun qamariyah (hijriyah) bukan semata-mata karena puasa diwajibkan kepada umat Islam yang menggunakan kalender hijriyah. Tetapi lebih berdasar kepada rasa keadilan bagi umat Islam di seluruh penjuru dunia yang melaksanakan ibadah puasa.

Tahun qamariyah (hijriyah) lebih sedikit 10 hari daripada tahun syamsiyah (masehi). Dengan demikian bulan Ramadhan tiap tahunnya maju 10 hari dari tahun Masehi. Berdasarkan hal ini maka dalam kurun waktu 36 tahun tidak ada hari sepanjang tahun yang tidak dipuasai oleh seorang muslim. (Sa’id Hawwa: Al Islam). Artinya selama 36 tahun hidup kita, kita akan mengalami puasa pada semua bulan Masehi.

Dengan demikian, seluruh kaum muslimin berbagi sama di setiap negerinya dalam kadar puasa dan kelelahannya seperti yang pernah dialami oleh saudaranya di tempat lain. Hari pendek, hari panjang, hari panas, dan hari dingin akan (pernah) kita rasakan. Seandainya penentuan puasa menggunakan kalender Masehi yang tidak pernah berubah maka kaum muslimin di daerah panas akan terus merasa berat melaksanakan puasa sepanjang hidupnya di banding dengan kaum muslimin di daerah dingin. Begitu juga dengan kaum muslimin yang tinggal di daerah yang siang harinya lebih lama daripada malam harinya tentu juga akan terus merasa berat melaksanakan puasa sepanjang hidupnya. Termasuk disini adalah hasil alam yang bisa dirasakan secara adil oleh kaum muslimin pada saat puasa. Kalau puasa tahun ini kita menikmati musim mangga, mungkin tahun depan saat puasa lagi kita tidak akan merasakan lagi, tetapi dengan musim buah yang lain.

Maha Besar Allah yang ciptaan-Nya tidak pernah sia-sia. Maha Suci Allah yang perintah dan larangan-Nya terasa manfaatnya.

Sayangnya, dalam Islam, terutama di Indonesia, kadang tidak satu suara dalam menentukan penanggalan sehingga terjadi perbedaan hari raya...hal inilah yang perlu disikapi bersama.

Ya ayyuha al-ladzina ’amanu

§ Dari sisi Iman dan Keyakinan; tahap keyakinan

Pertama, 'ilmul yaqin

Yaitu meyakini segala sesuatu berdasarkan ilmu atau pengetahuan. Misal, di Mekah ada Kabah. Kita percaya karena teorinya bicara seperti itu. Di sinilah pentingnya belajar dan mencari ilmu sebanyak-banyaknya. Sebab, semakin luas pengetahuan kita tentang sesuatu, khususnya tentang Dzat Allah Azza wa Jalla, seakan kita memiliki bekal untuk berjalan mendekat kepada-Nya.

Kedua, 'ainul yaqin

Yaitu keyakinan yang timbul karena kita telah melihatnya dengan mata kepala sendiri. Orang yang telah menunaikan ibadah haji sangat yakin bahwa Kabah itu memang ada di Mekah karena ia telah melihatnya. Keyakinan karena melihat, akan lebih kuat dibandingkan keyakinan karena ilmu.

Ketiga adalah haqqul yaqin

Orang yang telah haqqul yaqin akan memiliki keyakinan yang dalam dan terbukti kebenarannya. Orang yang telah merasakan nikmatnya thawaf, berdoa di Multazam, merasakan ijabahnya doa, keyakinan akan jauh lebih mendalam. Inilah tingkat keyakinan tertinggi yang akan sulit diruntuhkan dan dicabut dari hati orang yang memilikinya.

Cara meningkatkan kualitas keyakinan diri, sejatinya harus melalui proses dan tahapan-tahapan, mulai dari 'ilmul yaqin, 'ainul yaqin, hingga haqqul yaqin.

Akibat dari tingkat keimanan dalam menghadapi puasa, puasa bisa bertingkat kualitasnya, yaitu awam, khawash, dan khawash al-khawash. Yang juga nantinya perpengaruh pada hasil dari puasa yaitu takwa. Kertakwaan bertingkat dalam diri setiap orang. Inilah yang dijadikan ukuran tinggi rendahnya derajat manusia dihadapan Allah.

Bahwa "bintang jasa muttaqin' itu ada dua peringkat (bintang kelas 1 dan bintang kelas 2); sedangkan bintang kelas 3, pada hakikatnya belum bernama bintang dalam pandangan Allah karena puasanya sebatas/setingkat puasa orang awam (kebanyakan). Ciri-cirinya adalah hanya sekedar menahan lapar dan minum saja.

Adapun bintang kelas 2 diberikan Allah kepada orang muttaqin yang peringkat puasanya setara dengan puasa orang khusus dengan indikasi bahwa ia telah dapat mempuasakan pandangan mata dan penglihatannya dari hal-hal yang dapat membatalkan puasanya; dapat menahan lidah, kaki dan semua anggota tubuh untuk berbuat sesuatu yang akan menggagalkan nilai puasanya.

Bintang kelas 1 akan diberikan Allah kepada muttaqin yang setara tingkat puasanya dengan orang khusus al-khusus. Indikasinya dapat dilihat bahwa pada orang tersebut telah mampu mempuasakan hati dan zuhud terhadap duniawi dan nilai-nilai materi lainnya.

puasa kaum khawash al-khawash adalah level tertinggi, sehingga puasa adalah upaya paling prima untuk membersihkan pikiran, perasaan, hati, jiwa.

Kutiba (diwajibkan)

Sama dengan arti kata furidho atau wujiba kutiba 'alaikum adalah suatu kewajiban yang mengandung arti: harus dilaksanakan menurut tata aturannya; tidak boleh digantikan atau dialihkan kepada orang lain; batal dan berdosa bagi yang melanggar aturannya.

Kama kutiba

Perlu kita mengetahui bagaimanakah puasanya umat-umat para nabi sebelum umat Islam atau umatnya nabi Muhammad SAW.

1. PuasanyaNabiyulloh Nuh a.s, yaitu setahun, kecuali 'Idul Fithri dan 'Idul Adha.

2. Puasanya Nabiyulloh Ibrohim a.s, tiap-tiap bulan 3 hari, jadi setahun puasa 36 hari.

3. Puasanya Nabiyulloh Dawud a.s, tiap-tiap setahun puasa 6 bulan, caranya sehari tidak puasa, sehari puasa, sehari buka.

"Shoma Nuhu ddahro illa yaumal fithri wal adlha washoma daawud nishfaddahri washoma ibrohim tsalatsa ayyamin minkulli syahrin shomaddahri wa afthoroddahri"

(an Ibnu Amru, Riwayat Thobroni wal Baihaqi fi syu’abul Iman, kitab Jami'us

Soghir/Shod/184)

La’alla (agar)

Adalah indiksi adanya kegagalan memperoleh predikat takwa. Jadi jangan pernah mempunyai perasaan sombong dan terlalu percaya diri kalau sudah berpuasa secara otomatis akan memperoleh predikat takwa.

Ingat sabda Rasulullah saw, “kam min sha`imin laisa lahu min shiyamihi illa al-ju’ wa al athos”.

Tattaqun (bertakwa)

Shaum adalah washilah dan taqwa adalah ghayah. Pernah dijelaskan oleh ustadz bahwa takwa ibarat pakaian.

Takwa bisa diartikan sebagai rasa takut kepada Allah. Rasa takut dicap sebagai penghianat oleh Allah, rasa tajut dicap munafik oleh Allah dll. Semakin tinggi rasa takut kita kepada Allah, semakin sadar kita bahwa segala sesuatu yang kita lakukan akan dimintai pertanggungjwaban di hadapan Allah, maka akan semakin baik pula kehidupan kita.

Sebaliknya, semakin kita tidak punya rasa takut kepada Allah, semakin rusaklah kehidupan kita.

Jika pribadi yang hidup dalam masyarakat adalah pribadi yang takwa, niscaya masyarakat yang terbaik akan terbentuk sebagaimana pernah terjadi pada masa Rasulullah dan para sahabatnya.

Terbayang bahwa kesalehan individual akan membentuk kesalehan secara kolektif.

(Tulisan diramu dari berbagai sumber)

Wednesday, September 10, 2008

Indonesia dan Ratifikasi Piagam ASEAN; Terulangkah Kegagalan Ratifikasi DCA?

Bulan September ini merupakan bulan yang cukup mendebarkan bagi Pemerintah Indonesia. Pasalnya, proses ratifikasi Piagam ASEAN, yaitu pembahasan RUU ratifikasi akan dilaksanakan di gedung DPR RI. Mendebarkan, karena begitu pentingnya Piagam ASEAN bagi langkah ASEAN ke depan. Jika terjadi penolakan atas ratifikasi, maka seolah memupuskan mimpi negara-negara anggota ASEAN untuk menapaki masa depan yang lebih baik.

Sejarah perjalanan perjalanan ASEAN (Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara/PERBARA) menapaki babak baru dengan ditandatanganinya Piagam ASEAN (ASEAN Charter) oleh para Kepala Negara/Pemerintahan pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-13 di Singapura, November 2007.

Piagam tersebut merupakan titik kulminasi yang menggambarkan jerih payah negara-negara anggota ASEAN selama 40 menjalani pahit getirnya mengikatkan diri dalam sebuah organisasi regional. Piagam itu juga merupakan prestasi tersendiri bagi ASEAN dalam melakukan transformasi.

Transformasi ASEAN tersebut didorong oleh dinamika percaturan politik global yang sedang bergulir yang setidaknya terkumpul dalam dua faktor yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal dimaksud berupa implementasi perjanjian yang telah ditandatangani dalam tubuh ASEAN; perkembangan berbagai program dan aktivitas; dan kebutuhan untuk memperkuat kerjasama internal. Sedangkan faktor eksternal berupa munculnya kekuatan-kekuatan baru di kawasan (China dan India); bangkitnya Jepang sebagai kekuatan regional; dan perkembangan di Asia Timur. Sebagai organisasi yang bervisi jauh ke depan, semua itu tentunya menjadi pemicu bagi ASEAN untuk “cancut tali wondo” bergegas membenahi diri menyongsong masa depan.

Langkah ke depan yang ditempuh oleh negara-negara anggota ASEAN agar Piagam tersebut bisa berlaku (entry into force) adalah dengan meratifikasinya. Saat ini 7 negara anggota telah meratifkiasi, sisanya, 3 negara (Indonesia, Filipina, Thailand) masih dalam proses.

Di Indonesia, sebagai sebuah produk baru yang dihasilkan dalam tubuh ASEAN, Piagam ASEAN mengundang pertanyaan-pertanyaan. Di antaranya adalah yang pernah diungkapkan oleh anggota Komisi I DPR Yudi Crisnandi, yang menyatakan sekaligus menanyakan mengenai keberadaan Piagam tersebut, ”saat ini tanpa ASEAN Charter pun kita tetap diberi keleluasaan berdiplomasi di tingkat ASEAN”. Pertanyaan lain yang juga muncul diantaranya adalah, apakah Piagam ASEAN akan menjamin percepatan kemajuan bagi anggotanya? apakah Piagam ASEAN tidak merugikan bagi Indonesia? Dan lain sebagainya.

Proses Ratifikasi di Indonesia

Meskipun Indonesia merupakan salah satu negara pendiri ASEAN, merupakan negara terbesar di ASEAN, serta merupakan ibukota ASEAN dimana Sekretariat ASEAN didirikan, namun tampak bahwa proses ratifikasi di Indonesia tidak berjalan mulus. Waktu yang ditargetkan oleh ASEAN untuk launching ratifikasi piagam ASEAN adalah akhir tahun 2008, tepatnya pada KTT ASEAN ke-14 di Thailand, Desember 2008, namun demikian hingga September 2008 Indoesia masih meniti proses menuju ratifikasi tersebut.

Dalam tubuh DPR, terutama yang termasuk dalam Pansus gabungan Komisi I dan Komisi III, yang akan melakukan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) ratifikasi pun tidak satu suara, ada yang pro ratifikasi dan ada yang kontra. Masing-masing mempunyai alasannya sendiri.

Bagi sebagian anggota DPR yang kurang setuju dengan ratifikasi memamndang adanya cacat dalam Piagam ASEAN yang menyebabkan ia tidak layak diratifikasi. Hal itu terlihat dalam komentar Hajriyanto Y. Thohari dari Fraksi Partai Golkar yang mengatakan bahwa dalam ASEAN Charter terdapat cacat prosedural dan substansial. Cacat procedural yang dimaksud adalah melanggar Undang Undang (UU) Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, dimana pasal 2 berbunyi: "Menteri memberikan pertimbangan politis dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan dalam pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional, dengan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat dalam hal menyangkut kepentingan publik". Dalam hal ini DPR merasa di-fait accomply. Sedangkan cacat subtansial yang dimaksudkan adalah bahwa isi Piagam ASEAN tidak mengandung kemajuan berarti bagi komunitas ASEAN; hubungan ASEAN dengan rakyat tidak jelas diatur dalam piagam ini; ASEAN menjadi terlalu bersifat elitis, dan hanya menjadi urusan elite pemerintah dalam hal ini elite Departemen Luar Negeri saja; dan terlalu konservatif dalam hal proses pengambilan keputusan, karena segala sesuatu harus diputuskan melalui konsensus.

Permadi, dari Fraksi PDIP merasa pesimis dengan keberadaan Piagam ASEAN. Menurutnya ASEAN Charter tidak perlu diratifikasi, karena kalau Piagam ASEAN diratifikasi kita bisa diinjak-injak terus oleh Singapura dan Malaysia. Selain itu juga Indonesia tidak akan bisa menjadi satu-kesatuan di ASEAN karena keanggotaan ASEAN sendiri memiliki paham yang berbeda-beda.

Di sisi lain banyak dari anggota DPR yang termasuk dalam pansus pembahasan RUU ratifikasi setuju dengan diratifikasinya Piagam ASEAN, seperti yang diungkapkan oleh Wakil Ketua Komisi I DPR RI Yusron Ihza Mahendra yang mengatakan bahwa meski isi Piagam ASEAN belum ideal, namun sebaiknya tetap diratifikasi dan beberapa tahun kemudian diharapkan Piagam ASEAN ini diamandemen. Hal senada juga diungkapkan oleh Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Andreas H Pareira, yang membantah anggapan Piagam ASEAN (ASEAN Charter) banyak merugikan Indonesia dan sebaliknya lebih menguntungkan negara-negara tetangga.

Terlihat sekali pro dan kontra dalam tubuh Pansus, maka muncullah pertanyaan, apakah Indonesia akan meratifikasi Piagam ASEAN atau akan menolak ratifikasi sebagaimana terjadi pada DCA (Defence Cooperation Agreement)?

Kegagalan Ratifikasi DCA; terulangkah?

Pil pahit telah ditelan pemerintah Indonesia ketika perjanjian kerjasama pertahanan (Defence Cooperation Agreement/DCA) antara Indonesia dan Singapura yang ditandatangani kedua negara pada 27 Januari 2007 di Bali ditolak ratifikasinya oleh DPR RI. Beberapa alasan yang mendasari penolakan DPR untuk meratifikasinya di antaranya adalah bahwa CDA dianggap lebih banyak merugikan Indonesia serta berkaitan dengan isu yang sangat sensitif yaitu masalah kedaulatan negara, yang dikawatirkan bahwa Indonesia akan menggadaikan kedaulatannya.

Menurut penulis Piagam ASEAN berbeda dengan DCA dalam beberapa hal, di antaranya:

§ Dalam Piagam ASEAN terdapat campur tangan 10 negara, sehingga kekhawatiran negara yang satu “menginjak-injak” yang lain sebagaimana dikawatirkan dalam DCA tidak akan terjadi, hal ini berbeda dengan DCA yang merupakan perjanjian secara langsung antara kedua negara sehingga wajar jika muncul suatu kekawatiran.

§ Piagam ASEAN adalah sarana untuk mempercepat integrasi dalam ASEAN, merupakan kesatuan tekat untuk maju secara bersama-sama serta memperkuat ikatan regional untuk membendung “serangan” dari luar. Dengan demikian, Piagam ini mempunyai cakupan yang sangat luas, dan tidak hanya terbatas pada satu hal saja sebagaimana dalam DCA.

Semua itu mengindikasikan bahwa kegagalan ratifikasi DCA kemungkinan besar tidak akan terulang lagi. Penulis yakin bahwa pada akhirnya DPR RI akan meratifikasi Piagam ASEAN, menyusul 7 negara lain yang terlebih dahulu melakukan ratifikasi.

Mengapa Indonesia perlu meratifikasi?

Indonesia sebagai negara terbesar, ibukota, dan sala satu pendiri ASEAN perlu meratifikasi Piagam ASEAN, karena sebagai pendiri tentunya mempunyai kewajiban moral untuk “ngemong” (memelihara), membesarkanya, serta melebarkan jalannya untuk menapaki masa depan yang lebih cerah. Sebagai bangsa yagn besar Indonesia seharusnya optimis untuk mampu mengambil manfaat dari perkembangan organisasi kawasan ini, sehingga hal-hal yang diindikasikan akan membawa kemajuan ASEAN perlu mendapatkan dukungan.

Memang, semua tidak menutup mata bahwa ada kekurangan-kekurangan dalam Piagam ASEAN, namun hal itu tentunya tidak membuat bangsa Indonesia pesimis. Karena keurangan-kekurangan itu bisa diperbaiki sambil berjalan. Piagam bukan benda mati yang tidak bisa dirubah lagi, ia menerima amandemen jika memang hal itu diperlukan. Sehingga tidak ada salahnya memberi kesempatan negara-negara anggota ASEAN untuk mencobanya.


Manusia tidak pernah tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Manusia tidak tahu akan hasil sebelum ada percobaan. Dengan demikian, bangsa Indonesia perlu berlapang dada untuk melebarkan langkah perjalanan ASEAN untuk “mencoba” produknya. Semoga !!!

Wednesday, January 2, 2008

Salju di atas KBRI Tehran

Pak Heni (KOmunikasi), Mas Budi (F.Protokol), Pengembara (Lagi magang), Pak Sugeng (F. Politik / HOC), foto setelah rapat staf selama 2 jam....

Tehran tertutup salju....

di tahun baru, salju turun dari malam hingga siang...sudah setebal 10 cm...tapi masih belum juga berhentiiii