Tuesday, December 23, 2008

Makalah Ku Yang Dulu (2)

FIKIH REALISTIS;
(Upaya Meluruhkan Nash ke Dalam Bingkai Realitas Kekinian)
Oleh: Moh. Nur Salim

Ini adalah pagi, katanya
Namun apakah arti pagi kalau masih ngantuk
Dan otot-otot masih kendur, terpuruk
Tapi cucilah muka dengan semangat menyala
Katanya lantang mengisi ruang

(Rachmat Djoko Pradopo, Matahari Telah Mandi,
dalam AUBADE 1999)

Pendahuluan
Ketika pabrik-pabrik industri canggih meluncurkan produk-produk mutakhirnya, bersamaan dengan itu mereka juga mengeluarkan aturan pemakaian produk-produk spesial tersebut. Mengapa? Karena dengan mematuhi aturan pakai, sebuah produk akan awet dan bisa lebih bermanfaat bagi pemiliknya. Dan yang perlu digarisbawahi, bahwa aturan pakai tersebut “pasti” demi kemaslahatan pemakainya.
Begitu pula -secara sederhana- kita memahami Islam sebagai produk Ilahi dan syariah islamiyah sebagai aturan pakainya. Dan bila pemahaman terhadap kata syariah dikerucutkan, maka akan dipahami identik dengan fikih.
Jika kita diperkenankan untuk menamai peradaban Islam melaului salah satu produknya, maka boleh saja kita menyebutnya dengan ‘peradaban fikih’, sebagaimana peradaban Yunani dikasih aran ‘perdaban filsafat’, juga ketika kita menyebut peradaban Eropa saat ini dengan ‘peradaban ilmu dan teknologi’.
Begitu kental fikih mewarnai segala lingkup kehidupan umat Islam, sehingga maju mundurnya fikih akan turut menentukan aliran ‘desah nafas’ peradaban Islam. Karena itulah kita perlu mengkaji ulang format fikih yang ‘pas’ untuk mengiringi lajunya dinamika kehidupan yang semakin carut-marut dan penuh tantangan ini.

Fikih dan Panorama Peradaban Islam
Dengan membaca sejarah dan mencermati perjalanan sejarah fikih Islam, maka kita akan melihat jelas bahwa fikih -diantaranya- bisa dijadikan standar maju mundurnya peradaban.
Dalam buku-buku sejarah fikih Islam, ulama membagi perjalanan tasyri’ islami ke dalam enam masa; pertama, tasyri’ di masa Nabi. Kedua, tasyri’ di masa Sahabat. Ketiga, tasyri’ di masa Tabi’in. Keempat, tasyri’ di masa setelah Tabi’in (zaman keemasan). Kelima, masa transisi. Keenam, masa kejatuhan Islam ke tangan Hulago Khan dan setelahnya (masa keterpurukan).
Yang perlu kita perhatikan di sini adalah bagaimana kita mengontraskan antara fikih di zaman keemasan dengan fikih di saat umat Islam terpuruk, dengan harapan kita bisa memetik nilai-nilai positif dan supaya kita melihat dengan jelas urgensi fikih dalam turut mewarnai peradaban.
Saat peradaban Islam sedang ‘naik daun’, fikih muncul dalam wajah cantik dan mengagumkan, punya kekuatan seni tersendiri, meluas ke seluruh lini kehidupan, menjawab segala persoalan, sehingga punya ciri khusus yang unggul dari fikih-fikih yang pernah ada. Dan tidaklah terkesan berlebihan jika kita menamai fikih di masa itu dengan era kematangan berpikir, masa tergiat, masa ijtihad mutlak dll.
Sedangkan di masa kemunduran, wajah fikih terlihat suram, dipenuhi dengan borok-borok ta’asub madzhab yang mempersempit ruang lingkup fikih, penutupan pintu ijtihad, menyebaranya budaya taklid yang menyebabkan kemandegan berpikir dsb.
Pada saat kemunduran ini juga ditandai dengan menjamurnya fenomena ‘adu konsep’ yang tidak sedikitpun merubah realitas, tumbuh suburnya perdebatan yang diliputi oleh suasana ta’asub, saling tuduh-menuduh dan sebagainya, seolah-olah medan pertempuran yang sesungguhnya adalah pertemuran pemikiran an sich (bukan realitas). Begitulah gambaran produk fikih yang dikenal dengan istilah ‘fikih iftiradhi’ pada saat itu.
Kalau (penulis) boleh menambahkan pembagian masa perjalanan fikih Islam, maka saat ini adalah masa ke tujuh, yaitu masa kebangkitan fikih Islam (?). Setelah sekian lama ‘bintang-bintang’ di langit Islam redup, maka sudah saatnyalah fajar akan segera menyingsing.
Nah, dari sinilah kita mencoba mencari format fikih yang tepat untuk menyambut datangnya pagi demi mulusnya jalan kebangkitan Islam.

Fikih Realistis; Format Fikih Kontemporer
Zaman semakin kompleks, semrawut, sehingga bermunculan permasalahan-permasalahan baru yang semakain banyak, sebanding dengan perjalanan waktu. Banyak sekali permasalahan-permasalahan fikih yang masih ‘perawan’, belum pernah terjamah oleh buku-buku turast terdahuhlu yang semakin hari semakin bertambah sebagai akibat datangnya tatanan dunia baru; era globalisasi. Di sinilah kita perlu mencurahkan segala kemampuan untuk mencari hukum-hukum fikih terbaik, disamping kita juga harus meninjau ulang hukum-hukum yang telah ada.
Jika kita tidak pintar-pintar menimbang-nimbang lahan permasalahan yang lebih tepat untuk kita kerjakan, kita akan terjebak dalam kubanagan waktu dan tidak akan bisa kembali lagi. Di sinilah kita perlu membuat skala prioritas (fiqh al- aulawiyat) terhadap lahan-lahan garapan kita.
Dalam At-turast Wa al-Tajdid Hasan Hanafi menyayangkan (cara berpikir) yang mengarah pada minimnya observasi langsung terhadap realitas, dan hanya membahas kemungkinan-kemungkinan (secara teoritis), sedangkan (sebenarnya) penelitian secara langsung akan lebih jelas dibanding teori-teori yang berupa pengandaian saja. Karena sebenarnya realitaslah yang merupakan sarana untuk mempertajam analisis.
Hal yang harus kita lakukan sekarang adalah memprioritaskan perhatian pada hal-hal yang sifatnya mendesak, langsung menyentuh jantung permasalahan umat dan tidak terkesan mengambang di awang-awang. Atau, untuk lebih jelasnya kita menyebut fikih seperti ini dengan fikih yang realistis.
Adapun dasar-dasar dalam menerjuni fikih realistis adalah sebagai berikut:
1. tanggap terhadap fenomena alam beserta dampak-dampaknya yang bisa mengkondisikan kehidupan manusia.
2. memahami dinamika sosial sebagai suatu hal yang tak terpisahkan dalam interaksi antara sesama manusia.
3. memahami kondisi psikologi manusia
Dengan demikian, sebuah hukum yang dihasilkan dari konsep diatas akan lebih diterima oleh akal manusia yang dalam hal ini menjadi pelaksana hukum-hukum tersebut.

Hukum; Hasil Dialektika Antara Nash Versus Realitas
Agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. adalah agama terakhir, dan tidak akan ada agama dan rasul lagi setelah itu. Maka konsekuensi logis dari hal itu adalah; Islam harus bisa menjawab segala persolan-persoalan yang tidak akan ada habisnya sampai akhir zaman.
Di sinilah Islam dituntut untuk bisa elastis dalam menyikapi segala macam permasalahan karena hanya elastisitaslah yang bisa bertahan sepanjang zaman.
Jika kita memahami bahwa agama ini sempurna (agama samawi semuanya sempurna), maka sesungguhnya letak kesempurnaan itu ‘ada’ pada kesinambungan penerapannya, dalam artian kelanggengannya dalam berkembang dan menapak masa depan. Karena sesungguhnya manhaj (jika kita mengartikan syariah sebagai manhaj) tidak pernah mencapai kesempurnaan. Karena jika suatu rute perjalanan sudah habis maka selesailah pekerjaan. Dan jika jalan yang yang kita tempuh sudah pol, maka terputuslah dinamika.
Jadi, mengacu pada pernyatan di atas, sebuah hukum seharusnya merupakan hasil dialektika antara ‘perintah langit’ dan ‘realitas bumi’. Sehingga hukum (dalam hal ini sebagai hasil sintesis) senatiasa berubah sejalan dengan berubahnya realitas sebagai anti tesis terhadap nash (sebagai tesisnya).
Ibnu Abidin, seorang ahli fikih madzhab hanafi, mengatakan, “banyak sekali hukum-hukum (dalam satu jenis kasus, Pen.) yang berbeda karena perjalanan waktu; karena perubahan kebiasaan (‘urf), karena adanya hal yang mendesak, atau karena kocar-kacirnya keadaan suatu masa tertentu. Sehingga seandainya hukum itu tidak berubah maka akan menimbulkan kesulitan, merugikan manusia, dan malah menyimpang dari kaidah asal syariah islamiyah yang berdiri atas dasar keringanan dan anti madharat”. Ibnu al-Qayyim, ahli fikih madzhab Hambali, juga menegaskan, “syariah berinti dan berasas pada maslahat dunia dan akhirat, ia (syariat) seluruhnya adalah keadilan, rahmat, maslahat dan hikmah. Sehingga semua permasalahan (dalam syariat) yang keluar dari makna keadilan menuju kedurhakaan, berubah dari makna rahmat menuju sebaliknya, berubah dari maslahat menjadi madharat, dan berbalik dari hikmah menuju kepada hal yang sia-sia, maka permasalahan itu bukan merupakan syariat. Walaupun untuk memahami hal itu (harus) merujuk pada ta’wil.”
Apa yang penulis ketengahkan ini seharusnya diterapkan dalam segala lahan garapan fikih; ibadah, muamalah, maupun ahwal syakhsiyah.

Contoh Studi Kasus
Untuk lebih memperjelas teori yang kita ketengahkan di sini ada baiknya kita mengujinya dalam beberapa kasus yang kita jumpai dalam keseharian kita.
Misalnya dalam ibadah, dalam hal batalnya sholat; ada hukum fikih yang mengatakan bahwa melakukan gerak tiga kali membatalkan shalat (fikih syafi’iah), dengan alasan gerak tiga kali adalah terhitung banyak (dalil awal mengatakan bahwa gerak yang banyak membatalkan shalat). Hukum seperti ini kurang realistis karena tidak tepatnya hubungan antara gerak tiga kali dengan hitungan banyak dalam fikih (bukan nahwu, yang mempunyai kaidah bahwa sedikit-sedikitnya jamak adalah tiga). Seharusnya banyak atau tidaknya gerak dalam batanya shalat kembali pada ‘urf, jika ‘urf mengatakan bahwa orang yang melakukan suatu gerak tertentu terkesan seperti orang yang tidak dalam keadaan shalat, maka gerak semacam itu terhitung banyak. Begitu pula kita memahami sebaliknya.
Contoh lagi dalam ikhtilath antara laki-laki dan perempuan, ada hukum fikih yang mengatakan bahwa hukumnya adalah haram secara mutlak (berdasarkan pada dalil sadd adz-dzarai’ = menutup jalan yang mengarah pada suatu larangan, dalam hal ini zina), maka hukum semacam itu terkesan kurang realistis, karena pada saat-saat tertentu (atau pada suatu bangsa yang berperadaban tinggi, misalnya) kemungkinan ikhtilath yang menuju pada perzinahan sangat kecil, maka hukum yang cenderung memukul rata itu kurang tepat.

Studi Kasus Pada Permasalahan Daulah Islamiyah Dan Tathbiq As-Syariat
Dalam cakrawala pemikiran keislaman yang berkembang hingga saat ini masih berdengung isu seputar daulah Islamiyah dan penarapan syariat. Ada baiknya dalam makalah yang sederhana ini kita berbicara tentang hukum mendirikan daulah islamiyah dan penerapan syariah dan kita mencoba mengaitkan hal itu dengan fikih realistis yang kita bahas ini.
Perlu diketahui di sini bahwa kedua permasalah ini saling terkait, artinya jika ingin menerapkan syariat harus mendirikan daulah islamiyah. Jadi kita cukup membahas satu hukum saja.
Ada beberapa pendapat yang tercatat dalam buku-buku Pemikiran keislaman dalam menyikapi isu seputar daulah islamiyah, Hartono Ahmad Jaiz, menulis satu bab khusus yang membahas tentang daulah islamiyah, yang pada akhirnya dia berkesimpulan bahwa hukumnya adalah wajib, dengan alasan sebagai berikut :
1. Islam bersifat syumul, mencakup segala aspek kehidupan, baik individu mapupun sosial. Dan dari cakupan syariat itu didapati hukum-hukum yang berhubungan dengan negara, pengaturan kekuasaan dll.
2. dalam sunnah Nabi terdapat kata-kata ; amir, imam, dan sulthan yang bayak terulang. Kata-kata tersebut mempunyai makna orang-orang yang memiliki kekuasaan, yaitu pemerintah. Pemerintah merupakan satu aspek dari kenegaraan. Teks-teks tersebut membutuhkan pelaksanaan, dan pelaksanaanya adalah dengan penyelenggaraan negara sesuai pemahaman-pemahaman yang yang dibawa syariat.
3. adanya bai’at yang merupakan akad yang jelas (di masa Nabi) dalam mendirikan pemerintahan Islam.
Berkaca dari konsep fikih realistis, hukum seperti di atas terlihat kurang realistis dilihat dari beberapa poin:
1. penerapan syariah yang sesungguhnya tidak berarti penerapan secara leterlijk terhadap ayat-ayat atau mengulang-ulang perkataan-perkataan pendahulu, tapi dengan cara merujuk pada sumber utama dan kaidah-kaidah umumnya, di samping juga melihat pada realita sejarah yang mengkondisikannya, juga dengan mengkomparasikan antara kedaan waktu itu dan keadaan sekarang.
2. tidak adanya dalil-dalil al-Quran maupun Hadist yang mengandung hukum mendirikan suatu negara maupun peraturan perundang-undangannya. Hal ini sangat maklum karena sesungguhnya dasar dalam agama ini diperuntukkan bagi manusia dan bertujuan mengangkat harkat kemanusiaannya, dan hal itu tidak harus didirikan pada tempat tertentu atau berbentuk sebuah negara tertentu.
3. tidak menetunya kondisi masyarakat, dimana mereka masih hidup dalam kondisi tereksploitasi, miskin dan belum terpenihinya hak-hak mereka, yang merupakan penghalang untuk diterapkannya hukum syariat. Bahkan sebaliknya tidak boleh diterapkan hukuh syariat sebelum terselenggaranya nidham pendidikan islam yang benar, yang menjaga hak-hak dan kewajiban muslimin dan memprasaranai kondusifnya menjalankan iman dan takwa kepada Allah swt.
Setelah kita melihat bagaimana sebanarnya hukum-hukum yang beredar ternyata masih bisa ditinjau ulang dan perlu disesuaikan dengan keadaan tertentu, sehingga terbuktilah bahwa syariah Islam benar-banar “shalihun likulli zamanin wa makanin”.

Ijtihad Realistis
Kehadiran Tatanan Dunia Baru saat ini ditandai dengan kemajuan-kemajuan di segala bidang, terutama di bidang ilmu dan teknologi. Sehingga dampak positif dari semua itu adalah semakin tersibaknya rahasia-rahasia alam yang sebelumnya masih merupakan misteri. Dan yang akhir-akhir ini menggejala di dunia keilmuan adalah kecenderungan spesialisasi dalam suatu bidang tertentu. Hal ini akan menjadikan suatu permaslahan menjadi gamblang.
Jika kita menghendaki terciptanya sebuah hukum yang realistis, maka ijtihad niscaya harus dilakukan oleh kelompok tertentu (amal jama’i) yang terdiri dari para spesialis bidang-bidang yang bersangkutan, disamping juga harus didasarkan pada keadaan setempat, sehingga hasil dari ijtihad seperti itu merupakan realitas yang bisa dipertanggungjawabkan dari berbagai segi.

Catatan Akhir
Dari uraian singkat tentang fikih realistis diatas tampaklah bahwa untuk mengkonsumsi suatu nash tidak boleh dipahami secara harfiah, karena hanya akan menghasilkan hukum yang ‘melangit’ yang tentunya tidak cocok untuk dijadikan konsumsi bagi makhluk yang tinggal di bumi.

Puisi-Puisi Bertebaran


KADO ULANG TAHUN UNTUK SAHABATKU

Sahabat..
lihatlah,
setiap hela nafas yang kau buang
melintas dalam detik-detik waktu kehidupan
membentuk deret-deret kata
kau sebut namanya menit, jam, hari, minggu, tahun dan juga abad

dengarlah,
derap langkah kepergian hari-harimu
mengajak minggu-minggumu berlari
mengelupas dari ikatan
menyusun bulan-bulan
bergerombol, menjelma menjadi tahun-tahun
mengantarmu pada usia ke-21

Sahabat..
jangan kaulelah mengarungi samudra
jangan pusing menjawab soal-soal kehidupan

kuatkan perahumu jika dihempas badai
cukupkan tintamu 'tuk menulis jawaban-jawaban itu

sobat... aku ingin tahu kesungguhanmu
dan ingin melihat keberhasilanmu

Cairo, 4 mei 2002

WUDHU'


Seolah Kau basuh jiwaku
dengan pancaran sinarmu
di saat...
air suci kupercikkan di wajahku
segar jiwaku
segar mukaku
percaya diri aku menghadapmu

Tuhan...
sucikan hatiku sesuci air
bersihkan jasadku sebersih masjidMu
agar ringan langkah kakiku
menuju hadiratMu

Madinat Buust, 27052004


MENGULITI HARI

Detik ini
kukuliti hari
kucampakkan gelap
kulihat warna dalam cahaya
penerang jiwa

kutatap langit nan cerah
dengan sejuta harap merekah
kakipun melangkah penuh gairah

kusambut datangnya pagi
bersih tanpa polusi
kuisi engan percaya diri

17072004