Oleh: Kangsalim
Islam adalah agama yang diturunkan Allah swt untuk umat manusia yang mempunyai tujuan utama mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Islam memuat ketetapan-ketetapan Allah dan ketentuan Rasul-Nya, baik berupa larangan maupun suruhan, meliputi seluruh aspek hidup dan kehidupan manusia (Ali, 2000: 41). Ketentuan-ketentuan itu selanjutnya disebut dengan syari’ah (Islamic law)[1], yang memuat 3 (tiga) hal, yaitu al-aħkâm al-i’tiqâdiyyah[2], al-aħkâm al-wujdâniyyah[3], dan al-aħkâm al-‘amaliyyah[4] (Khalil, tt: 9).
Tulisan ini membahas permasalahan seputar al-aħkâm al-‘amaliyyah, yaitu hukum syari’ah yang berhubungan dengan amal perbuatan seorang muslim.
Hasil pemahaman tentang al-aħkâm al-‘amaliyyah disusun secara sistematis dalam kitab-kitab fikih dan disebut hukum fikih (Ali, 2000: 43). Sebagai hukum yang diterapkan pada kasus tertentu dalam keadaan konkret, hukum fikih mungkin berubah dari masa ke masa dan mungkin juga berbeda dari satu tempat ke tempat lain. Ini sesuai dengan ketentuan yang disebut dengan kaidah yang menyatakan bahwa perubahan tempat dan waktu menyebabkan perubahan hukum. Dari kaidah ini dapat ditarik kesimpulan bahwa hukum fikih itu cenderung relatif, tidak absolut (Ali, 2000:47).
Berbicara mengenai isu seputar pemikiran fikih Islam, dalam core pemikiran fikih Islam saat ini, nama Yusuf al-Qaradhawi dikenal sebagai salah seorang ulama` terkemuka yang telah banyak mencurahkan tenaga dan pikirannya dalam mengetengahkan fikih dengan format yang kontemporer. Buku ini mencoba membahas secara spesifik mengenai sisi pemikiran fikih al-Qaradhawi dalam menyikapi realitas sosial kekinian.
Realitas yang dimaksud di sini adalah segala yang ada di sekitar kehidupan manusia dan mempunyai pengaruh, baik pengaruh positif maupun negatif (al-Qaradhawi, 1997: 292). Realitas juga bisa diartikan sebagai segala sesuatu yang membentuk kehidupan manusia dalam segala lini kehidupan (Bu’ud, 2000, 43).
Pergeseran zaman yang cepat dibarengi pula dengan pergeseran budaya anak zamannya, sehingga hal-hal yang berlaku pada zaman terdahulu pada masa sekarang cenderung berubah, ditinggalkan dan dianggap sudah kadaluwarsa. Dengan demikian, hukum-hukum Islam yang bersandarkan pada realitas sosial masa lalu juga mengalami pergeseran, sehingga hal itu menuntut adanya hukum baru, fikih baru, dan ijtihad baru yang bergerak seiring perjalanan sejarah kehidupan.
Melalui kajian fikih yang peka terhadap realitas yang sedang berjalan, tidak hanya memperkaya khazanah Islam, namun juga mampu mengetengahkan solusi hukum yang sesuai dengan tuntutan zaman.
Fikih atau hukum fikih yang sesungguhnya adalah yang realistis, dalam arti berangkat dari realitas dan tidak mengabaikannya, serta terbangun atas dasar realitas dan tidak berangkat dari ruang hampa. Di sisi lain, ijtihad pada dasarnya berfungsi untuk memberikan justifikasi terhadap suatu realitas kemasyarakatan (at-ta’thîr as-syar’i li al-wâqi’) sehingga ia harus seiring sejalan dengan perjalanan realitas kehidupan (ar-Raysuni, 2000: 64).
Fikih al-Qaradhawi, ketika berbicara mengenai hubungan antara hukum dengan realitas kekinian telah mengetengahkan produk-produk hukum konkret, sebagai misal di antaranya adalah bahwa dalam fikih klasik seorang wanita dilarang bepergian tanpa disertai mahramnya. Hukum seperti ini tentunya sudah tidak lagi bisa diterima masyarakat modern. Ijtihad sekarang, dengan melihat kondisi dan kebiasaan yang berlaku, cenderung membolehkan perempuan bepergian sendiri karena kondisi sudah aman dan tenang. Saat ini bepergian dengan alat transportasi massal bisa mengangkut ratusan bahkan ribuan penumpang serta tidak melewati gurun sahara dan padang pasir yang dikhawatirkan akan tertimpa bahaya (al-Qaradhawi, 1999: 98).
Contoh lain yang dikemukakan al-Qaradhawi adalah dalam menyikapi hadis Rasulullah tentang nishâb zakat, di mana Rasulullah pernah menetapkan nishâb zakat melalui dua cara, yaitu dengan emas (20 Dinar) dan perak (200 Dirham). Dalam hal ini Rasulullah tentunya menghendaki nilai yang sepadan antara nishâb emas dan perak berdasarkan kebiasaan dan kondisi saat itu. Pada masa sekarang, di mana harga perak anjlok dibanding harga emas, satu-satunya cara terbaik dalam menentukan nishâb adalah dengan emas, karena hal itu lebih memberi kemaslahatan (al-Qaradhawi, 1994: 277-278).
Realitas ke-Indonesia-an tentunya juga perlu disikapi dengan fikih Islam. Salah satu misal dalam hal ini adalah, realitas yang terjadi di kota-kota besar seperi Jakarta, di mana lalu lintas kendaraan sangat padat sehingga seseorang bisa terjebak di jalan selama berjam-jam lamanya. Dengan adanya kondisi yang demikian ini, bagaimanakah hukum fikih dalam menjamak shalat karena macetnya lalu lintas?
Realitas lain yang juga menarik untuk dikaji dan disikapi dengan fikih Islam adalah suatu tradisi di sebuah desa di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, yang mempunyai mata pencarian membuat sanggul dan wig, padahal mereka adalah muslim, di mana dalam ajaran Islam terdapat hadis shahih mengenai larangan menyambung rambut yang tentunya tidak membenarkan aktivitas mereka.
Jika menilik ke belakang dan mencermati perjalanan sejarah tasyri’ Islam, akan terlihat bahwa pada awal mulanya Islam tidak muncul dari ruang hampa, ia adalah agama yang diturunkan dalam suatu masyarakat yang mempunyai realitas sosial tertentu; masyarakat yang telah menyatu dengan tradisinya sendiri. Arab, yang merupakan tempat diturunkannya Islam, merupakan masyarakat yang telah mempunyai ritus-ritus, baik dalam peribadatan, sosial, politik, hukum dan lain sebagainya.
Saat itu, Islam dihadapkan pada suatu realitas sosial, dan sejarah meninggalkan bukti bahwa realitas sosial tidak dieliminasi Islam secara keseluruhan. Bahkan, dalam sebuah buku yang ditulis oleh Khalil Abdul Karim (1990) dipaparkan dengan jelas mengenai ritus-ritus sebelum Islam yang akhirnya diadopsi oleh Islam. Hal itu memberikan suatu indikasi bahwa Islam mempunyai cara tersendiri dalam memperlakukan/menyikapi realitas sosial.
Paparan di atas memberikan bukti mengenai urgensi mengkaji realitas untuk selanjutnya dijadikan sandaran dalam proses formulasi hukum dalam rangka mengembangkan fikih kontemporer yang dinamis dan realistis.
Sebagai representasi pemikiran ulama terkemuka saat ini, persepektif fikih Yusuf al-Qaradhawi dalam menyikapi realitas sosial kekinian akan dikaji dalam tulisan ini.
NB: versi lengkap tulisan ini bisa di-download pada “download e-book, Fikih Realistis”.
[1] Secara etimologis, syari’ah berarti jalan yang lurus. Sedangkan secara terminologis ia berarti hukum-hukum Allah yang ditujukan kepada hambanya melalui perantara Rasul-Nya (Khalil, tt: 8).
[2] Al-ahkâm al-i’tiqâdiyyah yang dimaksud adalah yang berhubungan dengan keyakinan seperti iman kepada Allah, Rasul, Malaikat, Hari akhir, dll. Semua ini dibahas dalam ilmu kalam atau ilmu tauhid.
[3] Al-ahkâm al-wujdâniyyah adalah yang berhubungan dengan akhlak, seperi zuhud, sabar, ridha, dll. yang dibahas dalam ilmu tersendiri yang disebut dengan ilmu akhlaq atau ilmu tasawuf.
[4] Al-ahkâm al-‘amaliyyah adalah yang berhubungan dengan perbuatan seseorang, seperti shalat, puasa, jual beli, zakat, dll yang menjadi objek bahasan ilmu fikih.