Banyak sekali perintah dan larangan Allah yang tidak bisa kita pahami secara total, padahal sesungguhnya dibalik perintah dan larangan itu terdapat suatu hikmah yang luar biasa. Seperti pada penentuan Ramadhan dan puasa. Mengapa Allah harus menetapkannya berdasarkan peritungan bulan bukan pada perhitungan matahari?
“Berpuasalah kalian karena melihat (bulan) dan berhari rayalah karena melihatnya. Jika awan menutupi kamu, maka sempurnakanlah bilangan Sya’ban itu tiga puluh hari” (h.r. Bukhari)
Tahun qamariyah adalah perhitungan tahun berdasarkan bulan mengelilingi bumi, sedangkan tahun Syamsiyah perhitungan tahun berdasarkan bumi mengelilingi matahari. Tahun qamariyah menghasilkan kalender Hijriyah sedangkan tahun syamsiyah menghasilkan kalender Masehi.
Penentuan Ramadhan yang berdasarkan tahun qamariyah (hijriyah) bukan semata-mata karena puasa diwajibkan kepada umat Islam yang menggunakan kalender hijriyah. Tetapi lebih berdasar kepada rasa keadilan bagi umat Islam di seluruh penjuru dunia yang melaksanakan ibadah puasa.
Tahun qamariyah (hijriyah) lebih sedikit 10 hari daripada tahun syamsiyah (masehi). Dengan demikian bulan Ramadhan tiap tahunnya maju 10 hari dari tahun Masehi. Berdasarkan hal ini maka dalam kurun waktu 36 tahun tidak ada hari sepanjang tahun yang tidak dipuasai oleh seorang muslim. (Sa’id Hawwa: Al Islam). Artinya selama 36 tahun hidup kita, kita akan mengalami puasa pada semua bulan Masehi.
Dengan demikian, seluruh kaum muslimin berbagi sama di setiap negerinya dalam kadar puasa dan kelelahannya seperti yang pernah dialami oleh saudaranya di tempat lain. Hari pendek, hari panjang, hari panas, dan hari dingin akan (pernah) kita rasakan. Seandainya penentuan puasa menggunakan kalender Masehi yang tidak pernah berubah maka kaum muslimin di daerah panas akan terus merasa berat melaksanakan puasa sepanjang hidupnya di banding dengan kaum muslimin di daerah dingin. Begitu juga dengan kaum muslimin yang tinggal di daerah yang siang harinya lebih lama daripada malam harinya tentu juga akan terus merasa berat melaksanakan puasa sepanjang hidupnya. Termasuk disini adalah hasil alam yang bisa dirasakan secara adil oleh kaum muslimin pada saat puasa. Kalau puasa tahun ini kita menikmati musim mangga, mungkin tahun depan saat puasa lagi kita tidak akan merasakan lagi, tetapi dengan musim buah yang lain.
Maha Besar Allah yang ciptaan-Nya tidak pernah sia-sia. Maha Suci Allah yang perintah dan larangan-Nya terasa manfaatnya.
Sayangnya, dalam Islam, terutama di Indonesia, kadang tidak satu suara dalam menentukan penanggalan sehingga terjadi perbedaan hari raya...hal inilah yang perlu disikapi bersama.
Ya ayyuha al-ladzina ’amanu
§ Dari sisi Iman dan Keyakinan; tahap keyakinan
Pertama, 'ilmul yaqin
Yaitu meyakini segala sesuatu berdasarkan ilmu atau pengetahuan. Misal, di Mekah ada Kabah. Kita percaya karena teorinya bicara seperti itu. Di sinilah pentingnya belajar dan mencari ilmu sebanyak-banyaknya. Sebab, semakin luas pengetahuan kita tentang sesuatu, khususnya tentang Dzat Allah Azza wa Jalla, seakan kita memiliki bekal untuk berjalan mendekat kepada-Nya.
Kedua, 'ainul yaqin
Yaitu keyakinan yang timbul karena kita telah melihatnya dengan mata kepala sendiri. Orang yang telah menunaikan ibadah haji sangat yakin bahwa Kabah itu memang ada di Mekah karena ia telah melihatnya. Keyakinan karena melihat, akan lebih kuat dibandingkan keyakinan karena ilmu.
Ketiga adalah haqqul yaqin
Orang yang telah haqqul yaqin akan memiliki keyakinan yang dalam dan terbukti kebenarannya. Orang yang telah merasakan nikmatnya thawaf, berdoa di Multazam, merasakan ijabahnya doa, keyakinan akan jauh lebih mendalam. Inilah tingkat keyakinan tertinggi yang akan sulit diruntuhkan dan dicabut dari hati orang yang memilikinya.
Cara meningkatkan kualitas keyakinan diri, sejatinya harus melalui proses dan tahapan-tahapan, mulai dari 'ilmul yaqin, 'ainul yaqin, hingga haqqul yaqin.
Akibat dari tingkat keimanan dalam menghadapi puasa, puasa bisa bertingkat kualitasnya, yaitu awam, khawash, dan khawash al-khawash. Yang juga nantinya perpengaruh pada hasil dari puasa yaitu takwa. Kertakwaan bertingkat dalam diri setiap orang. Inilah yang dijadikan ukuran tinggi rendahnya derajat manusia dihadapan Allah.
Bahwa "bintang jasa muttaqin' itu ada dua peringkat (bintang kelas 1 dan bintang kelas 2); sedangkan bintang kelas 3, pada hakikatnya belum bernama bintang dalam pandangan Allah karena puasanya sebatas/setingkat puasa orang awam (kebanyakan). Ciri-cirinya adalah hanya sekedar menahan lapar dan minum saja.
Adapun bintang kelas 2 diberikan Allah kepada orang muttaqin yang peringkat puasanya setara dengan puasa orang khusus dengan indikasi bahwa ia telah dapat mempuasakan pandangan mata dan penglihatannya dari hal-hal yang dapat membatalkan puasanya; dapat menahan lidah, kaki dan semua anggota tubuh untuk berbuat sesuatu yang akan menggagalkan nilai puasanya.
Bintang kelas 1 akan diberikan Allah kepada muttaqin yang setara tingkat puasanya dengan orang khusus al-khusus. Indikasinya dapat dilihat bahwa pada orang tersebut telah mampu mempuasakan hati dan zuhud terhadap duniawi dan nilai-nilai materi lainnya.
puasa kaum khawash al-khawash adalah level tertinggi, sehingga puasa adalah upaya paling prima untuk membersihkan pikiran, perasaan, hati, jiwa.
Kutiba (diwajibkan)
Sama dengan arti kata furidho atau wujiba kutiba 'alaikum adalah suatu kewajiban yang mengandung arti: harus dilaksanakan menurut tata aturannya; tidak boleh digantikan atau dialihkan kepada orang lain; batal dan berdosa bagi yang melanggar aturannya.
Kama kutiba
Perlu kita mengetahui bagaimanakah puasanya umat-umat para nabi sebelum umat Islam atau umatnya nabi Muhammad SAW.
1. PuasanyaNabiyulloh Nuh a.s, yaitu setahun, kecuali 'Idul Fithri dan 'Idul Adha.
2. Puasanya Nabiyulloh Ibrohim a.s, tiap-tiap bulan 3 hari, jadi setahun puasa 36 hari.
3. Puasanya Nabiyulloh Dawud a.s, tiap-tiap setahun puasa 6 bulan, caranya sehari tidak puasa, sehari puasa, sehari buka.
"Shoma Nuhu ddahro illa yaumal fithri wal adlha washoma daawud nishfaddahri washoma ibrohim tsalatsa ayyamin minkulli syahrin shomaddahri wa afthoroddahri"
(an Ibnu Amru, Riwayat Thobroni wal Baihaqi fi syu’abul Iman, kitab Jami'us
Soghir/Shod/184)
La’alla (agar)
Adalah indiksi adanya kegagalan memperoleh predikat takwa. Jadi jangan pernah mempunyai perasaan sombong dan terlalu percaya diri kalau sudah berpuasa secara otomatis akan memperoleh predikat takwa.
Ingat sabda Rasulullah saw, “kam min sha`imin laisa lahu min shiyamihi illa al-ju’ wa al athos”.
Tattaqun (bertakwa)
Shaum adalah washilah dan taqwa adalah ghayah. Pernah dijelaskan oleh ustadz bahwa takwa ibarat pakaian.
Takwa bisa diartikan sebagai rasa takut kepada Allah. Rasa takut dicap sebagai penghianat oleh Allah, rasa tajut dicap munafik oleh Allah dll. Semakin tinggi rasa takut kita kepada Allah, semakin sadar kita bahwa segala sesuatu yang kita lakukan akan dimintai pertanggungjwaban di hadapan Allah, maka akan semakin baik pula kehidupan kita.
Sebaliknya, semakin kita tidak punya rasa takut kepada Allah, semakin rusaklah kehidupan kita.
Jika pribadi yang hidup dalam masyarakat adalah pribadi yang takwa, niscaya masyarakat yang terbaik akan terbentuk sebagaimana pernah terjadi pada masa Rasulullah dan para sahabatnya.
Terbayang bahwa kesalehan individual akan membentuk kesalehan secara kolektif.
(Tulisan diramu dari berbagai sumber)