Wednesday, September 10, 2008

Indonesia dan Ratifikasi Piagam ASEAN; Terulangkah Kegagalan Ratifikasi DCA?

Bulan September ini merupakan bulan yang cukup mendebarkan bagi Pemerintah Indonesia. Pasalnya, proses ratifikasi Piagam ASEAN, yaitu pembahasan RUU ratifikasi akan dilaksanakan di gedung DPR RI. Mendebarkan, karena begitu pentingnya Piagam ASEAN bagi langkah ASEAN ke depan. Jika terjadi penolakan atas ratifikasi, maka seolah memupuskan mimpi negara-negara anggota ASEAN untuk menapaki masa depan yang lebih baik.

Sejarah perjalanan perjalanan ASEAN (Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara/PERBARA) menapaki babak baru dengan ditandatanganinya Piagam ASEAN (ASEAN Charter) oleh para Kepala Negara/Pemerintahan pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-13 di Singapura, November 2007.

Piagam tersebut merupakan titik kulminasi yang menggambarkan jerih payah negara-negara anggota ASEAN selama 40 menjalani pahit getirnya mengikatkan diri dalam sebuah organisasi regional. Piagam itu juga merupakan prestasi tersendiri bagi ASEAN dalam melakukan transformasi.

Transformasi ASEAN tersebut didorong oleh dinamika percaturan politik global yang sedang bergulir yang setidaknya terkumpul dalam dua faktor yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal dimaksud berupa implementasi perjanjian yang telah ditandatangani dalam tubuh ASEAN; perkembangan berbagai program dan aktivitas; dan kebutuhan untuk memperkuat kerjasama internal. Sedangkan faktor eksternal berupa munculnya kekuatan-kekuatan baru di kawasan (China dan India); bangkitnya Jepang sebagai kekuatan regional; dan perkembangan di Asia Timur. Sebagai organisasi yang bervisi jauh ke depan, semua itu tentunya menjadi pemicu bagi ASEAN untuk “cancut tali wondo” bergegas membenahi diri menyongsong masa depan.

Langkah ke depan yang ditempuh oleh negara-negara anggota ASEAN agar Piagam tersebut bisa berlaku (entry into force) adalah dengan meratifikasinya. Saat ini 7 negara anggota telah meratifkiasi, sisanya, 3 negara (Indonesia, Filipina, Thailand) masih dalam proses.

Di Indonesia, sebagai sebuah produk baru yang dihasilkan dalam tubuh ASEAN, Piagam ASEAN mengundang pertanyaan-pertanyaan. Di antaranya adalah yang pernah diungkapkan oleh anggota Komisi I DPR Yudi Crisnandi, yang menyatakan sekaligus menanyakan mengenai keberadaan Piagam tersebut, ”saat ini tanpa ASEAN Charter pun kita tetap diberi keleluasaan berdiplomasi di tingkat ASEAN”. Pertanyaan lain yang juga muncul diantaranya adalah, apakah Piagam ASEAN akan menjamin percepatan kemajuan bagi anggotanya? apakah Piagam ASEAN tidak merugikan bagi Indonesia? Dan lain sebagainya.

Proses Ratifikasi di Indonesia

Meskipun Indonesia merupakan salah satu negara pendiri ASEAN, merupakan negara terbesar di ASEAN, serta merupakan ibukota ASEAN dimana Sekretariat ASEAN didirikan, namun tampak bahwa proses ratifikasi di Indonesia tidak berjalan mulus. Waktu yang ditargetkan oleh ASEAN untuk launching ratifikasi piagam ASEAN adalah akhir tahun 2008, tepatnya pada KTT ASEAN ke-14 di Thailand, Desember 2008, namun demikian hingga September 2008 Indoesia masih meniti proses menuju ratifikasi tersebut.

Dalam tubuh DPR, terutama yang termasuk dalam Pansus gabungan Komisi I dan Komisi III, yang akan melakukan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) ratifikasi pun tidak satu suara, ada yang pro ratifikasi dan ada yang kontra. Masing-masing mempunyai alasannya sendiri.

Bagi sebagian anggota DPR yang kurang setuju dengan ratifikasi memamndang adanya cacat dalam Piagam ASEAN yang menyebabkan ia tidak layak diratifikasi. Hal itu terlihat dalam komentar Hajriyanto Y. Thohari dari Fraksi Partai Golkar yang mengatakan bahwa dalam ASEAN Charter terdapat cacat prosedural dan substansial. Cacat procedural yang dimaksud adalah melanggar Undang Undang (UU) Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, dimana pasal 2 berbunyi: "Menteri memberikan pertimbangan politis dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan dalam pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional, dengan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat dalam hal menyangkut kepentingan publik". Dalam hal ini DPR merasa di-fait accomply. Sedangkan cacat subtansial yang dimaksudkan adalah bahwa isi Piagam ASEAN tidak mengandung kemajuan berarti bagi komunitas ASEAN; hubungan ASEAN dengan rakyat tidak jelas diatur dalam piagam ini; ASEAN menjadi terlalu bersifat elitis, dan hanya menjadi urusan elite pemerintah dalam hal ini elite Departemen Luar Negeri saja; dan terlalu konservatif dalam hal proses pengambilan keputusan, karena segala sesuatu harus diputuskan melalui konsensus.

Permadi, dari Fraksi PDIP merasa pesimis dengan keberadaan Piagam ASEAN. Menurutnya ASEAN Charter tidak perlu diratifikasi, karena kalau Piagam ASEAN diratifikasi kita bisa diinjak-injak terus oleh Singapura dan Malaysia. Selain itu juga Indonesia tidak akan bisa menjadi satu-kesatuan di ASEAN karena keanggotaan ASEAN sendiri memiliki paham yang berbeda-beda.

Di sisi lain banyak dari anggota DPR yang termasuk dalam pansus pembahasan RUU ratifikasi setuju dengan diratifikasinya Piagam ASEAN, seperti yang diungkapkan oleh Wakil Ketua Komisi I DPR RI Yusron Ihza Mahendra yang mengatakan bahwa meski isi Piagam ASEAN belum ideal, namun sebaiknya tetap diratifikasi dan beberapa tahun kemudian diharapkan Piagam ASEAN ini diamandemen. Hal senada juga diungkapkan oleh Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Andreas H Pareira, yang membantah anggapan Piagam ASEAN (ASEAN Charter) banyak merugikan Indonesia dan sebaliknya lebih menguntungkan negara-negara tetangga.

Terlihat sekali pro dan kontra dalam tubuh Pansus, maka muncullah pertanyaan, apakah Indonesia akan meratifikasi Piagam ASEAN atau akan menolak ratifikasi sebagaimana terjadi pada DCA (Defence Cooperation Agreement)?

Kegagalan Ratifikasi DCA; terulangkah?

Pil pahit telah ditelan pemerintah Indonesia ketika perjanjian kerjasama pertahanan (Defence Cooperation Agreement/DCA) antara Indonesia dan Singapura yang ditandatangani kedua negara pada 27 Januari 2007 di Bali ditolak ratifikasinya oleh DPR RI. Beberapa alasan yang mendasari penolakan DPR untuk meratifikasinya di antaranya adalah bahwa CDA dianggap lebih banyak merugikan Indonesia serta berkaitan dengan isu yang sangat sensitif yaitu masalah kedaulatan negara, yang dikawatirkan bahwa Indonesia akan menggadaikan kedaulatannya.

Menurut penulis Piagam ASEAN berbeda dengan DCA dalam beberapa hal, di antaranya:

§ Dalam Piagam ASEAN terdapat campur tangan 10 negara, sehingga kekhawatiran negara yang satu “menginjak-injak” yang lain sebagaimana dikawatirkan dalam DCA tidak akan terjadi, hal ini berbeda dengan DCA yang merupakan perjanjian secara langsung antara kedua negara sehingga wajar jika muncul suatu kekawatiran.

§ Piagam ASEAN adalah sarana untuk mempercepat integrasi dalam ASEAN, merupakan kesatuan tekat untuk maju secara bersama-sama serta memperkuat ikatan regional untuk membendung “serangan” dari luar. Dengan demikian, Piagam ini mempunyai cakupan yang sangat luas, dan tidak hanya terbatas pada satu hal saja sebagaimana dalam DCA.

Semua itu mengindikasikan bahwa kegagalan ratifikasi DCA kemungkinan besar tidak akan terulang lagi. Penulis yakin bahwa pada akhirnya DPR RI akan meratifikasi Piagam ASEAN, menyusul 7 negara lain yang terlebih dahulu melakukan ratifikasi.

Mengapa Indonesia perlu meratifikasi?

Indonesia sebagai negara terbesar, ibukota, dan sala satu pendiri ASEAN perlu meratifikasi Piagam ASEAN, karena sebagai pendiri tentunya mempunyai kewajiban moral untuk “ngemong” (memelihara), membesarkanya, serta melebarkan jalannya untuk menapaki masa depan yang lebih cerah. Sebagai bangsa yagn besar Indonesia seharusnya optimis untuk mampu mengambil manfaat dari perkembangan organisasi kawasan ini, sehingga hal-hal yang diindikasikan akan membawa kemajuan ASEAN perlu mendapatkan dukungan.

Memang, semua tidak menutup mata bahwa ada kekurangan-kekurangan dalam Piagam ASEAN, namun hal itu tentunya tidak membuat bangsa Indonesia pesimis. Karena keurangan-kekurangan itu bisa diperbaiki sambil berjalan. Piagam bukan benda mati yang tidak bisa dirubah lagi, ia menerima amandemen jika memang hal itu diperlukan. Sehingga tidak ada salahnya memberi kesempatan negara-negara anggota ASEAN untuk mencobanya.


Manusia tidak pernah tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Manusia tidak tahu akan hasil sebelum ada percobaan. Dengan demikian, bangsa Indonesia perlu berlapang dada untuk melebarkan langkah perjalanan ASEAN untuk “mencoba” produknya. Semoga !!!

No comments: