Thursday, September 11, 2008

Puasa; dari kesalehan individual menuju kesalehan sosial

Dari bulan Qamariyyah

Banyak sekali perintah dan larangan Allah yang tidak bisa kita pahami secara total, padahal sesungguhnya dibalik perintah dan larangan itu terdapat suatu hikmah yang luar biasa. Seperti pada penentuan Ramadhan dan puasa. Mengapa Allah harus menetapkannya berdasarkan peritungan bulan bukan pada perhitungan matahari?

Berpuasalah kalian karena melihat (bulan) dan berhari rayalah karena melihatnya. Jika awan menutupi kamu, maka sempurnakanlah bilangan Sya’ban itu tiga puluh hari” (h.r. Bukhari)

Tahun qamariyah adalah perhitungan tahun berdasarkan bulan mengelilingi bumi, sedangkan tahun Syamsiyah perhitungan tahun berdasarkan bumi mengelilingi matahari. Tahun qamariyah menghasilkan kalender Hijriyah sedangkan tahun syamsiyah menghasilkan kalender Masehi.

Penentuan Ramadhan yang berdasarkan tahun qamariyah (hijriyah) bukan semata-mata karena puasa diwajibkan kepada umat Islam yang menggunakan kalender hijriyah. Tetapi lebih berdasar kepada rasa keadilan bagi umat Islam di seluruh penjuru dunia yang melaksanakan ibadah puasa.

Tahun qamariyah (hijriyah) lebih sedikit 10 hari daripada tahun syamsiyah (masehi). Dengan demikian bulan Ramadhan tiap tahunnya maju 10 hari dari tahun Masehi. Berdasarkan hal ini maka dalam kurun waktu 36 tahun tidak ada hari sepanjang tahun yang tidak dipuasai oleh seorang muslim. (Sa’id Hawwa: Al Islam). Artinya selama 36 tahun hidup kita, kita akan mengalami puasa pada semua bulan Masehi.

Dengan demikian, seluruh kaum muslimin berbagi sama di setiap negerinya dalam kadar puasa dan kelelahannya seperti yang pernah dialami oleh saudaranya di tempat lain. Hari pendek, hari panjang, hari panas, dan hari dingin akan (pernah) kita rasakan. Seandainya penentuan puasa menggunakan kalender Masehi yang tidak pernah berubah maka kaum muslimin di daerah panas akan terus merasa berat melaksanakan puasa sepanjang hidupnya di banding dengan kaum muslimin di daerah dingin. Begitu juga dengan kaum muslimin yang tinggal di daerah yang siang harinya lebih lama daripada malam harinya tentu juga akan terus merasa berat melaksanakan puasa sepanjang hidupnya. Termasuk disini adalah hasil alam yang bisa dirasakan secara adil oleh kaum muslimin pada saat puasa. Kalau puasa tahun ini kita menikmati musim mangga, mungkin tahun depan saat puasa lagi kita tidak akan merasakan lagi, tetapi dengan musim buah yang lain.

Maha Besar Allah yang ciptaan-Nya tidak pernah sia-sia. Maha Suci Allah yang perintah dan larangan-Nya terasa manfaatnya.

Sayangnya, dalam Islam, terutama di Indonesia, kadang tidak satu suara dalam menentukan penanggalan sehingga terjadi perbedaan hari raya...hal inilah yang perlu disikapi bersama.

Ya ayyuha al-ladzina ’amanu

§ Dari sisi Iman dan Keyakinan; tahap keyakinan

Pertama, 'ilmul yaqin

Yaitu meyakini segala sesuatu berdasarkan ilmu atau pengetahuan. Misal, di Mekah ada Kabah. Kita percaya karena teorinya bicara seperti itu. Di sinilah pentingnya belajar dan mencari ilmu sebanyak-banyaknya. Sebab, semakin luas pengetahuan kita tentang sesuatu, khususnya tentang Dzat Allah Azza wa Jalla, seakan kita memiliki bekal untuk berjalan mendekat kepada-Nya.

Kedua, 'ainul yaqin

Yaitu keyakinan yang timbul karena kita telah melihatnya dengan mata kepala sendiri. Orang yang telah menunaikan ibadah haji sangat yakin bahwa Kabah itu memang ada di Mekah karena ia telah melihatnya. Keyakinan karena melihat, akan lebih kuat dibandingkan keyakinan karena ilmu.

Ketiga adalah haqqul yaqin

Orang yang telah haqqul yaqin akan memiliki keyakinan yang dalam dan terbukti kebenarannya. Orang yang telah merasakan nikmatnya thawaf, berdoa di Multazam, merasakan ijabahnya doa, keyakinan akan jauh lebih mendalam. Inilah tingkat keyakinan tertinggi yang akan sulit diruntuhkan dan dicabut dari hati orang yang memilikinya.

Cara meningkatkan kualitas keyakinan diri, sejatinya harus melalui proses dan tahapan-tahapan, mulai dari 'ilmul yaqin, 'ainul yaqin, hingga haqqul yaqin.

Akibat dari tingkat keimanan dalam menghadapi puasa, puasa bisa bertingkat kualitasnya, yaitu awam, khawash, dan khawash al-khawash. Yang juga nantinya perpengaruh pada hasil dari puasa yaitu takwa. Kertakwaan bertingkat dalam diri setiap orang. Inilah yang dijadikan ukuran tinggi rendahnya derajat manusia dihadapan Allah.

Bahwa "bintang jasa muttaqin' itu ada dua peringkat (bintang kelas 1 dan bintang kelas 2); sedangkan bintang kelas 3, pada hakikatnya belum bernama bintang dalam pandangan Allah karena puasanya sebatas/setingkat puasa orang awam (kebanyakan). Ciri-cirinya adalah hanya sekedar menahan lapar dan minum saja.

Adapun bintang kelas 2 diberikan Allah kepada orang muttaqin yang peringkat puasanya setara dengan puasa orang khusus dengan indikasi bahwa ia telah dapat mempuasakan pandangan mata dan penglihatannya dari hal-hal yang dapat membatalkan puasanya; dapat menahan lidah, kaki dan semua anggota tubuh untuk berbuat sesuatu yang akan menggagalkan nilai puasanya.

Bintang kelas 1 akan diberikan Allah kepada muttaqin yang setara tingkat puasanya dengan orang khusus al-khusus. Indikasinya dapat dilihat bahwa pada orang tersebut telah mampu mempuasakan hati dan zuhud terhadap duniawi dan nilai-nilai materi lainnya.

puasa kaum khawash al-khawash adalah level tertinggi, sehingga puasa adalah upaya paling prima untuk membersihkan pikiran, perasaan, hati, jiwa.

Kutiba (diwajibkan)

Sama dengan arti kata furidho atau wujiba kutiba 'alaikum adalah suatu kewajiban yang mengandung arti: harus dilaksanakan menurut tata aturannya; tidak boleh digantikan atau dialihkan kepada orang lain; batal dan berdosa bagi yang melanggar aturannya.

Kama kutiba

Perlu kita mengetahui bagaimanakah puasanya umat-umat para nabi sebelum umat Islam atau umatnya nabi Muhammad SAW.

1. PuasanyaNabiyulloh Nuh a.s, yaitu setahun, kecuali 'Idul Fithri dan 'Idul Adha.

2. Puasanya Nabiyulloh Ibrohim a.s, tiap-tiap bulan 3 hari, jadi setahun puasa 36 hari.

3. Puasanya Nabiyulloh Dawud a.s, tiap-tiap setahun puasa 6 bulan, caranya sehari tidak puasa, sehari puasa, sehari buka.

"Shoma Nuhu ddahro illa yaumal fithri wal adlha washoma daawud nishfaddahri washoma ibrohim tsalatsa ayyamin minkulli syahrin shomaddahri wa afthoroddahri"

(an Ibnu Amru, Riwayat Thobroni wal Baihaqi fi syu’abul Iman, kitab Jami'us

Soghir/Shod/184)

La’alla (agar)

Adalah indiksi adanya kegagalan memperoleh predikat takwa. Jadi jangan pernah mempunyai perasaan sombong dan terlalu percaya diri kalau sudah berpuasa secara otomatis akan memperoleh predikat takwa.

Ingat sabda Rasulullah saw, “kam min sha`imin laisa lahu min shiyamihi illa al-ju’ wa al athos”.

Tattaqun (bertakwa)

Shaum adalah washilah dan taqwa adalah ghayah. Pernah dijelaskan oleh ustadz bahwa takwa ibarat pakaian.

Takwa bisa diartikan sebagai rasa takut kepada Allah. Rasa takut dicap sebagai penghianat oleh Allah, rasa tajut dicap munafik oleh Allah dll. Semakin tinggi rasa takut kita kepada Allah, semakin sadar kita bahwa segala sesuatu yang kita lakukan akan dimintai pertanggungjwaban di hadapan Allah, maka akan semakin baik pula kehidupan kita.

Sebaliknya, semakin kita tidak punya rasa takut kepada Allah, semakin rusaklah kehidupan kita.

Jika pribadi yang hidup dalam masyarakat adalah pribadi yang takwa, niscaya masyarakat yang terbaik akan terbentuk sebagaimana pernah terjadi pada masa Rasulullah dan para sahabatnya.

Terbayang bahwa kesalehan individual akan membentuk kesalehan secara kolektif.

(Tulisan diramu dari berbagai sumber)

Wednesday, September 10, 2008

Indonesia dan Ratifikasi Piagam ASEAN; Terulangkah Kegagalan Ratifikasi DCA?

Bulan September ini merupakan bulan yang cukup mendebarkan bagi Pemerintah Indonesia. Pasalnya, proses ratifikasi Piagam ASEAN, yaitu pembahasan RUU ratifikasi akan dilaksanakan di gedung DPR RI. Mendebarkan, karena begitu pentingnya Piagam ASEAN bagi langkah ASEAN ke depan. Jika terjadi penolakan atas ratifikasi, maka seolah memupuskan mimpi negara-negara anggota ASEAN untuk menapaki masa depan yang lebih baik.

Sejarah perjalanan perjalanan ASEAN (Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara/PERBARA) menapaki babak baru dengan ditandatanganinya Piagam ASEAN (ASEAN Charter) oleh para Kepala Negara/Pemerintahan pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-13 di Singapura, November 2007.

Piagam tersebut merupakan titik kulminasi yang menggambarkan jerih payah negara-negara anggota ASEAN selama 40 menjalani pahit getirnya mengikatkan diri dalam sebuah organisasi regional. Piagam itu juga merupakan prestasi tersendiri bagi ASEAN dalam melakukan transformasi.

Transformasi ASEAN tersebut didorong oleh dinamika percaturan politik global yang sedang bergulir yang setidaknya terkumpul dalam dua faktor yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal dimaksud berupa implementasi perjanjian yang telah ditandatangani dalam tubuh ASEAN; perkembangan berbagai program dan aktivitas; dan kebutuhan untuk memperkuat kerjasama internal. Sedangkan faktor eksternal berupa munculnya kekuatan-kekuatan baru di kawasan (China dan India); bangkitnya Jepang sebagai kekuatan regional; dan perkembangan di Asia Timur. Sebagai organisasi yang bervisi jauh ke depan, semua itu tentunya menjadi pemicu bagi ASEAN untuk “cancut tali wondo” bergegas membenahi diri menyongsong masa depan.

Langkah ke depan yang ditempuh oleh negara-negara anggota ASEAN agar Piagam tersebut bisa berlaku (entry into force) adalah dengan meratifikasinya. Saat ini 7 negara anggota telah meratifkiasi, sisanya, 3 negara (Indonesia, Filipina, Thailand) masih dalam proses.

Di Indonesia, sebagai sebuah produk baru yang dihasilkan dalam tubuh ASEAN, Piagam ASEAN mengundang pertanyaan-pertanyaan. Di antaranya adalah yang pernah diungkapkan oleh anggota Komisi I DPR Yudi Crisnandi, yang menyatakan sekaligus menanyakan mengenai keberadaan Piagam tersebut, ”saat ini tanpa ASEAN Charter pun kita tetap diberi keleluasaan berdiplomasi di tingkat ASEAN”. Pertanyaan lain yang juga muncul diantaranya adalah, apakah Piagam ASEAN akan menjamin percepatan kemajuan bagi anggotanya? apakah Piagam ASEAN tidak merugikan bagi Indonesia? Dan lain sebagainya.

Proses Ratifikasi di Indonesia

Meskipun Indonesia merupakan salah satu negara pendiri ASEAN, merupakan negara terbesar di ASEAN, serta merupakan ibukota ASEAN dimana Sekretariat ASEAN didirikan, namun tampak bahwa proses ratifikasi di Indonesia tidak berjalan mulus. Waktu yang ditargetkan oleh ASEAN untuk launching ratifikasi piagam ASEAN adalah akhir tahun 2008, tepatnya pada KTT ASEAN ke-14 di Thailand, Desember 2008, namun demikian hingga September 2008 Indoesia masih meniti proses menuju ratifikasi tersebut.

Dalam tubuh DPR, terutama yang termasuk dalam Pansus gabungan Komisi I dan Komisi III, yang akan melakukan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) ratifikasi pun tidak satu suara, ada yang pro ratifikasi dan ada yang kontra. Masing-masing mempunyai alasannya sendiri.

Bagi sebagian anggota DPR yang kurang setuju dengan ratifikasi memamndang adanya cacat dalam Piagam ASEAN yang menyebabkan ia tidak layak diratifikasi. Hal itu terlihat dalam komentar Hajriyanto Y. Thohari dari Fraksi Partai Golkar yang mengatakan bahwa dalam ASEAN Charter terdapat cacat prosedural dan substansial. Cacat procedural yang dimaksud adalah melanggar Undang Undang (UU) Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, dimana pasal 2 berbunyi: "Menteri memberikan pertimbangan politis dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan dalam pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional, dengan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat dalam hal menyangkut kepentingan publik". Dalam hal ini DPR merasa di-fait accomply. Sedangkan cacat subtansial yang dimaksudkan adalah bahwa isi Piagam ASEAN tidak mengandung kemajuan berarti bagi komunitas ASEAN; hubungan ASEAN dengan rakyat tidak jelas diatur dalam piagam ini; ASEAN menjadi terlalu bersifat elitis, dan hanya menjadi urusan elite pemerintah dalam hal ini elite Departemen Luar Negeri saja; dan terlalu konservatif dalam hal proses pengambilan keputusan, karena segala sesuatu harus diputuskan melalui konsensus.

Permadi, dari Fraksi PDIP merasa pesimis dengan keberadaan Piagam ASEAN. Menurutnya ASEAN Charter tidak perlu diratifikasi, karena kalau Piagam ASEAN diratifikasi kita bisa diinjak-injak terus oleh Singapura dan Malaysia. Selain itu juga Indonesia tidak akan bisa menjadi satu-kesatuan di ASEAN karena keanggotaan ASEAN sendiri memiliki paham yang berbeda-beda.

Di sisi lain banyak dari anggota DPR yang termasuk dalam pansus pembahasan RUU ratifikasi setuju dengan diratifikasinya Piagam ASEAN, seperti yang diungkapkan oleh Wakil Ketua Komisi I DPR RI Yusron Ihza Mahendra yang mengatakan bahwa meski isi Piagam ASEAN belum ideal, namun sebaiknya tetap diratifikasi dan beberapa tahun kemudian diharapkan Piagam ASEAN ini diamandemen. Hal senada juga diungkapkan oleh Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Andreas H Pareira, yang membantah anggapan Piagam ASEAN (ASEAN Charter) banyak merugikan Indonesia dan sebaliknya lebih menguntungkan negara-negara tetangga.

Terlihat sekali pro dan kontra dalam tubuh Pansus, maka muncullah pertanyaan, apakah Indonesia akan meratifikasi Piagam ASEAN atau akan menolak ratifikasi sebagaimana terjadi pada DCA (Defence Cooperation Agreement)?

Kegagalan Ratifikasi DCA; terulangkah?

Pil pahit telah ditelan pemerintah Indonesia ketika perjanjian kerjasama pertahanan (Defence Cooperation Agreement/DCA) antara Indonesia dan Singapura yang ditandatangani kedua negara pada 27 Januari 2007 di Bali ditolak ratifikasinya oleh DPR RI. Beberapa alasan yang mendasari penolakan DPR untuk meratifikasinya di antaranya adalah bahwa CDA dianggap lebih banyak merugikan Indonesia serta berkaitan dengan isu yang sangat sensitif yaitu masalah kedaulatan negara, yang dikawatirkan bahwa Indonesia akan menggadaikan kedaulatannya.

Menurut penulis Piagam ASEAN berbeda dengan DCA dalam beberapa hal, di antaranya:

§ Dalam Piagam ASEAN terdapat campur tangan 10 negara, sehingga kekhawatiran negara yang satu “menginjak-injak” yang lain sebagaimana dikawatirkan dalam DCA tidak akan terjadi, hal ini berbeda dengan DCA yang merupakan perjanjian secara langsung antara kedua negara sehingga wajar jika muncul suatu kekawatiran.

§ Piagam ASEAN adalah sarana untuk mempercepat integrasi dalam ASEAN, merupakan kesatuan tekat untuk maju secara bersama-sama serta memperkuat ikatan regional untuk membendung “serangan” dari luar. Dengan demikian, Piagam ini mempunyai cakupan yang sangat luas, dan tidak hanya terbatas pada satu hal saja sebagaimana dalam DCA.

Semua itu mengindikasikan bahwa kegagalan ratifikasi DCA kemungkinan besar tidak akan terulang lagi. Penulis yakin bahwa pada akhirnya DPR RI akan meratifikasi Piagam ASEAN, menyusul 7 negara lain yang terlebih dahulu melakukan ratifikasi.

Mengapa Indonesia perlu meratifikasi?

Indonesia sebagai negara terbesar, ibukota, dan sala satu pendiri ASEAN perlu meratifikasi Piagam ASEAN, karena sebagai pendiri tentunya mempunyai kewajiban moral untuk “ngemong” (memelihara), membesarkanya, serta melebarkan jalannya untuk menapaki masa depan yang lebih cerah. Sebagai bangsa yagn besar Indonesia seharusnya optimis untuk mampu mengambil manfaat dari perkembangan organisasi kawasan ini, sehingga hal-hal yang diindikasikan akan membawa kemajuan ASEAN perlu mendapatkan dukungan.

Memang, semua tidak menutup mata bahwa ada kekurangan-kekurangan dalam Piagam ASEAN, namun hal itu tentunya tidak membuat bangsa Indonesia pesimis. Karena keurangan-kekurangan itu bisa diperbaiki sambil berjalan. Piagam bukan benda mati yang tidak bisa dirubah lagi, ia menerima amandemen jika memang hal itu diperlukan. Sehingga tidak ada salahnya memberi kesempatan negara-negara anggota ASEAN untuk mencobanya.


Manusia tidak pernah tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Manusia tidak tahu akan hasil sebelum ada percobaan. Dengan demikian, bangsa Indonesia perlu berlapang dada untuk melebarkan langkah perjalanan ASEAN untuk “mencoba” produknya. Semoga !!!