Duaribulimabelas adalah "mantra" sepuluh negara di kawasan Asia Tenggara untuk memasuki babak kehidupan baru. Sepuluh negara itu akan meleburkan diri (berintegrasi) dalam satu wadah, satu komunitas, yang disebut dengan Komunitas ASEAN.
Lima tahun (lagi) barangkali cukup lama dalam hitungan denting waktu kehidupan manusia sebagai individu. Namun merupakan periode yang sangat singkat bagi pembentukan sebuah komunitas. Sebab membentuk sebuah komunitas butuh waktu yang cukup panjang dan melelahkan. Men-dialog-kan keanekaragaman kondisi politik, ekonomi, sosial dan budaya yang sangat majemuk dari jumlah penduduk sekira 500 juta tentu tidak semudah membalikkan jari telujuk.
Sekedar menilik masa lalu, negara-negara di Eropa butuh waktu sekitar lima puluh tahun untuk berintegrasi di bawah payung UNI EROPA.
Mau atau tidak, suka atau tidak "genderang" pembuka jalan menuju Komunitas ASEAN telah ditabuh dengan ditandatangani dan diratifikasinya PIAGAM ASEAN dan oleh para kepala negara/pemerintahan sepuluh negara.
Komitmen negara-negara yang mengusung kesatuan sebagai "we the people of ASEAN" seolah menunjukkan keseriusannya untuk benar-benar mewujudkan sebuah komunitas, dan tentunya disertai dengan kesadaran serta keyakinan (optimisme).
Tahun depan, Indonesia akan menjadi ketua ASEAN. Sebagai negara yang membidani kelahiran ASEAN, sebagai "tuan rumah" ASEAN, sebagai penggagas Komunitas ASEAN (melalui Bali Concord II) dan sekaligus sebagai negara terbesar di ASEAN, Indonesia mempunyai "beban moral" yang lebih berat dibanding negara-negara lain dalam melebarkan jalan menuju komunitas ASEAN 2015.
Berpijak dari pemahaman di atas, rasanya kita perlu introspeksi diri, mengaca diri, dan mengukur keseriusan kita dalam menyongsong kehadiran Komunitas ASEAN. Kira-kira sampai sejauh manakah upaya kita (baca: pemerintah dan rakyat) dalam berkontribusi positif.
Dari sisi pemerintah, segala daya dan upaya telah dicurahkan, tentunya terfokus pada tiga pilar Komunitas ASEAN; politik-keamanan, ekonomi dan sosial budaya.
Dengan adanya piagam ASEAN yang mengkondisikan (bahasa kasarnya: memaksa) negara-negara anggotanya untuk patuh terhadap ketentuan dan konsensus yang telah dibuat, tentunya menjadi satu jalan untuk memuluskan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk membangun Komunitas ASEAN.
Selaras dengan hal di atas, koordinasi antar instansi, baik pemerintah maupun swasta secara pasti telah diarahkan untuk menyongsong kehadiran komunitas ASEAN.
Hal itu merupakan unsur pertama dan utama.
Ala kulli haal (inggris: by the way), atas segala upaya itu kita patut memberikan apresiasi, namun satu hal perlu dipegang bahwa "Good is not good if better is expected".
Di sisi lain, mengingat yang akan dibentuk adalah sebuah komunitas tentunya rakyat atau masyarakat ASEAN juga memegang peran yang tidak kalah pentingnya.
Berbicara mengenai rakyat dan hubungannya dengan pemerintah, secara teoritis-normatif kebijakan diambil dan dimplementasikan untuk sebesar-besarnya kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Namun demikian, kadang kala (atau mungkin kerap kali) terjadi sebuah ironi bahwa rakyat yang digadang-gadang akan menikmati kebijakan yang diambil pemerintah ternyata banyak yang tidak tahu menahu tentang kebijakan itu. Berapa banyak kebijakan yang mengatasnamakan rakyat namun justru menyengsarakan rakyat itu sendiri. Sekali lagi, ironis!!.
Bagaimana halnya dengan kebijakan yang disebut Komunittas ASEAN itu? Terjadikah sebuah ironi?
Barangkali, rakyat Indonesia ketika ditanya mengenai komunitas ASEAN banyak dari mereka balik bertanya, "what kind of animal is that?" (boso jowone: panganan opo kuwi kang?).
Ini bukan isapan jempol belaka. Dari beberapa teman yang kelihatannya "well educated", bahkan yang tinggal di Jakarta sekalipun, ketika ditanya mengenai komunitas asean 2015 banyak bahkan mayoritas dari mereka tidak "aware".
Jika "awareness" adalah masalah utama dalam membentuk sebuah komunitas, maka negara-negara anggota ASEAN saat ini sesungguhnya dihadapkan tantangan besar untuk menyentil awareness rakyatnya masing-masing.
Nah, di sinilah Indonesia sebagai kakak tertua di asean perlu menyoal ulang, sejauh manakah ke-tergugah-an awareness rakyat indonesia?
Bagi siapapun yang membaca tulisan ini, mari mengkaji lebih dalam mengenai komunitas asean, melihat dampaknya, dan memasang kuda-kuda untuk menghadapinya.
Dengan itu, kita dapat menakar sejauh mana kesiapan kita menyongsong komunitas asean 2015.
Kalau boleh dirumuskan, kesiapan Indonesia menuju komunitas asean berbanding lurus dengan upayanya dalam "mendakwahkan" hal itu kepada rakyat.
Mari kita mengambil bagian sesuai kapasitas masing-masing untuk "mendakwahkan" komunitas asean 2015 itu.
Meminjam ungkapan mantan presiden AS, "kalau tidak kita siapa lagi? Kalau tidak sekarang kapan Lagi?
Semoga tidak terjadi sebuah IRONI...amiiin.
No comments:
Post a Comment