Thursday, May 28, 2009

Indonesia dan Kepemimpinan

By: Kang Salim

Ada sebuah perkataan menarik dari salah seorang pemimpin di dunia Islam masa lalu. Suatu ketika Umar pernah mengatakan, “seandainya ada seekor unta yang yang terpeleset di sebuah jalan Madinah maka tentu Allah akan meng-hisab-ku (meminta pertanggungjawaban) di akhirat”.

Di tengah-tengah digelarnya pesta demokrasi di Indonesia kali ini, betapa pentingnya kalimat tersebut untuk dibaca ulang, ditafsir ulang dan yang terpenting direnungkan oleh para pelaku demokrasi….mulai dari tingkat grass root (rakyat jelata) hingga para politisi.

Menurut saya, yang perlu direnungkan di antaranya adalah:

Pertama, pengambilan contoh seekor unta. Unta dalam hal ini adalah representasi dari binatang yang akrab dengan jalan dan perjalanan. Perhatian Umar terhadap keselamatan seekor unta sungguh patut direnungi. Pemahaman dari hal itu adalah, jika unta saja diperhatikan keselamatannya, tentunya manusia mendapatkan perhatian yang lebih besar dari itu. Sebaliknya, jika manusia saja tidak diperhatikan keselamatannya, lalu masih adakah ruang untuk binatang dan kelestarian alam?

Kedua, kata-kata hisab (pertanggungjawaban). Dalam diri seorang peimpin mutlak diperlukan adanya keyakinan bahwa jabatan adalah amanah yang nantinya harus dipertanggungjawabkan. Jabatan bukanlah sebuah keleluasaan yang diperoleh seseorang untuk melakukan misi pribadinya, apalagi untuk memperkaya diri. Namun jabatan adalah sebuah amanah yang harus dijalankan dengan penuh rasa tanggung jawab, sehingga dengan demikian seseorang yang diberi amanah tersebut tidak sewenag-wenang.

Ketiga, seorang pemimpin perlu menjamin bahwa wilayah kekuasanya dalam keadaan baik. Hal ini manjdi indicator untuk menilai bobot kepemimpinan seserang. Setiap orang bisa menjadi peimpin, namun pemimpin terbagi menjadi dua, pemimpin yang berhasil dan pemimpin yang gagal.

Kepemimpinan dalam Konteks Ke-Indonesiaa-an

Untuk konteks ke-Indonesiaa-an saat ini, menurut saya telah terjadi “ke-sembrono-an” dalam memandang makna kepemimpinan. Setidaknya hal itu terlihat dalah beberapa hal sebagai berikut:

Pertama, kempemimpinan dianggap oleh masayarakat sebagai sebuah sarana untuk menjadi orang terpandang, kaya, dan berkuasa, sehingga semua berlomba-lomba untuk merebut kursi kepemimpinan. Hal itu mungkin menjadi fenomena yang salah namun kaprah, karena pada realitanya para pemimpin kita bergelimang harta. Lihat contohnya, ketika harta capres dan cawapres diperiksa oleh KPK ternyata para pemimpin bangsa ini adalah para milyarder.

Sebuah kata mutiara arab mengatakan bahwa “ro`isu al-qaumi khadimuhum” (pemimpin suatu kaum adalah pelayan bagi kaum tersebut). Alih-alih menjadi pelayan masyarakat, para pemimpin justru menjadi penguasa atas masyarakat. Alih-alih untuk memperbaiki kehidupan rakyat yang dipimpinnya, mereka justru sibuk memperkaya diri mereka, membela reputasinya, dan lain sebagainya sehingga banyak lahan garapan yang terbengkalai.

Hasilnya, kepemimpinan yang seharusnya menjadi amanah menjadi terbaikan.

Kedua, tipisnya iman para pemimpin kita. Sebagai Negara beragama saya perlu mengangkat tema ini, sebab semua agama mengajarkan tentang kebaikan. Semua agama menagtakan bahwa korupsi itu pekerjaan setan, mengeksploitasi manusia bukanlah pekerjaan yang mulia, menyalahgunakan jabatan untuk keperluan yang sifatnya pribadi adalah menyalahi amanah. Namun apa yang terjadi, para pemimpin yang beragama, bahkan yang muslim sering memakai peci, masih banyak yang terjerat korupsi, penyalahgunaan jabatan dan lain sebagainya. Sebagai seorang beragama dan beriman tentunya mempunyai control diri, sebagai janji setia antara diri dengan Tuhan yang maha kuasa. Pelanggaran atas janji setia itu merupakan bukti tipisnya iman seseorang. Barangkali tuhan tidak pernah hadir dalam hati orang seperti itu, dan sebagai gantinya setan senantiasa bersemayam di dalam hatinya.

Ketiga, terjadinya krisis kepemimpinan. Pembaca boleh setuju atau tidak dengan istilah ini, mengingat banyaknya wadah yang berlabel training kepemimpinan di Indonesia. Menurut saya, menjamurnya training dan pelatihan tentang kepemimpinan tidak identik dengan bermunculannya banyak pemimpin. Karena, menurut saya, iklim Indonesia tidak kondusif untuk melahirkan para pemimpin yang handal. Ingat, setelah Soekarno adakah pemipin Indonesia dalam arti yang seusungguhnya? Seorang peimpin yang bisa diterima oleh mayoritas rakyat Indonesia? Yang lahir di Indonesia pasca Soekarno hanyalah pemimpin-pemimpin sektoral dan temporal. Di Indonesia hanya ada pemimpin NU, Muhammadiyah, Akmadiyyah, dll. Belum ada, hingga saat ini, pemimpin yang bisa merengkuh semua unsure masyarakat.

Sebelum tulisan ini diakhiri perlu rasanya diketengahkan sebuah polemik mengenai kepemimpinan, “some people said that a leader is not created but they born, but the other said that someone can be a leader when he/she learn how to lead....”.

Bagi saya, seseorang harus belajar untuk menjadi seorang pemimpin. Belajra dari para pemimpin terdahulu, belajar mengenai nilai-nilai positif dari mereka, belajar mengani pahit manisnya menjadi pemimpin, dan sebagainya. Jika semua itu telah mantap dalam diri seseorang, barulah ia dengan sendirinya akan memamncarkan aura kepemimpinan yang bisa dilihat dan dirasakan oleh masyarakat. Ibarat anak ayam, jika sudah matang untuk lahir ke dunia maka kulit telur akan retak, pecah dan lahirlah seekor anak ayam…

Intinya, seorang yang ingin menjadi pemimpin haruslah matang jiwa dan raganya, sehingga ia tidak hanya menjadi pemimpin karbitan yang tidak mampu melakukan perubahan positif bagi bangsa dan negaranya.

Ingat, Indonesia sudah 63 tahun lebih merdeka, namun masih menjadi bangsa yang terbelakang, baik secara moral, material, maupun spiritual…..

Terakhir, mohon maaf karena tulisan ini hanya memaparkan permasalahan tanpa memberi jawaban, sebab saya yakin seyakin-yakinnya bahwa jawabannya masih tersembunyi dalam diri kita masing-masing.

Mari berbuat untuk bangsa dan Negara kita, karena, meminjam istilah Sutrisno Bachir (meskipun sudah basi) “Hidup adalah Perbuatan”, atau, meminjam ungkapan dari arab, “al-hayah al-harakah” (nggak ada gerak berarti mati).

Semoga bermanfaat!!!

Monday, May 25, 2009

Iso Rumongso vs. Rumongso Iso

                                      By: Kang salim

Pesta Demokrasi rakyat Indonesia belum usai. Masih ada babak selanjutnya yakni pemilihan presiden dan wakil presiden tanggal 8 Juli 2009 mendatang.

Dalam pemilu legislatif pada tanggal 9 April 2009 kemarin, KPU menetapkan bahwa dari 38 partai politik nasional, hanya 9 partai yang memenuhi ambang batas perolehan suara 2,5 persen. Sementara 29 partai lainnya harus tersingkir. Kesembilan partai tersebut adalah Partai Demokrat dengan perolehan 21.703.137 suara (20,85%, 148 kursi), Partai Golkar 15.037.757 suara ( 14,45%, 108 kursi), PDI-Perjuangan 14.600.091 suara (14,03%, 93 kursi), PKS 8.206.955 suara (7,88%, 59 kursi), PAN 6.254.580 suara (6,01%, 42 kursi), PPP 5.533.214 suara (5,32%, 39 kursi), PKB 5.146.122 suara (4,94%, 26 kursi), Gerindra 4.646.406 suara (4,46%, 30 kursi) dan Hanura 3.922.870 suara (3,77%, 15 kursi).

Hasil tersebut memberikan tamparan cukup keras bagi partai-partai gurem yang “rumongso” (merasa) dirinya besar dan layak memawakili suara rakyat Indonesia. Dengan kenyataan tersebut 29 partai yang gagal dalam pemilu legislative 2009 kali ini perlu introspeksi diri bahwa partainya ternyata tidak mandapat simpati dari rakyat Indonesia.

Setidaknya, ada dua hal yang perlu dicatat oleh parta-partai yang gagal tersebut:

Pertama, keyakinan akan adanya dukungan dari rakyat mestinya dibarengi dengan observasi yang meyakinkan tentang adanya dukungan tersebut, sebab dalam masalah ini spekulasi politik akan berakibat mencoreng muka sendiri. Dengan perolehan suara yang tidak signifikan, padahal sebelumnya melakukan kampanye yang berapi-api tentunya mempermalukan diri sendiri dan menjadikan partai tersebut ditertawakan orang.

Kedua, jangan hanya karena sedikit berbeda dengan yang lain (mayoritas) lantas menganggap bahwa diri dan kelompoknya merasa pantas untuk menjadi aspirator rakyat. Ingat, keinginan untuk tampil beda sering kali didasari rasa ingin menonjol dan terkenal, bahkan sering kali tidak disertai niat yang tulus. Keinginan untuk memperbaiki bangsa ini bukan perkara yang gampang, hal itu diperlukan usaha secara kolektif dari semua elemen bangsa. Dalam hal ini persatuan lebih baik dari pada tercerai berai dalam partai-partai kecil.

Dari sekilas peristiwa tersebut perlu rasanya bagi para aktor politik Indonesia untuk merenungkan kembali pesan dari pendahulu kita untuk senantiasa “Iso Rumongso” (tahu diri) bukan “Rumongso Iso” (merasa mampu, padahal tidak).

Semoga semua bisa bercermin dari kejadian ini…!!!! Amin.

Wednesday, May 6, 2009

Subhanallah, Alhamdulillah, dan Allahu Akbar

                    By: Kang Salim

Ada sebuah parodi dalam perbincangan di antara teman-teman saya, “saat ini bangsa setan melakukan konferensi untuk membicarakan tentang eksistensinya di dunia”, kata teman saya. “mengapa?” tanya saya. Teman saya dengan tertawa sinis menjawab, “bangsa setan bingung karena karakter bangsa manusia sekarang sudah melebihi bangsa setan, sehingga mengancam eksistensi setan di dunia ini”.

Parodi tersebut menggambarkan kekecewaan mengenai bagaimana sesaknya dunia ini yang dipenuhi oleh pribadi-pribadi manusia yang sudah berevolusi menjadi pribadi lain yang mendekati kepribadian setan. Terlihat dalam kehidupan sehari-hari bagaimana media massa tidak pernah sepi dari berita tentang kekejaman manusia, seperti pembunuhan, perampokan, pemerkosaan dan lain-lain.

Di zaman seperti ini, betapa butuhnya manusia untuk mempopulerkan ajaran mengenai kepribadian yang dibawa oleh para nabi dan rasul (akhlak profetik). 

Di antara hikmah diutusnya rasul dari kalangan manusia (bukan dari kalangan jin atau malaikat) adalah bahwa makhluk hidup dari bangsa manusia memungkinkan baginya untuk menjadi pribadi seperti rasul, meskipun untuk menyamainya adalah hal yang mustahil sebab pintu kerasulan telah ditutup dan karena mengangkat seseorang menjadi rasul adalah hak prerogatif allah.

Rasul terakhir, Muhammad saw sebangsa dengan kita sebagai manusia. Ini berarti memungkinkan bagi kita untuk memiliki kepribadian yang mendekati beliau. Bahkan jalan menuju ke sana telah dibuka lebar-lebar, sebab seorang rasul mempunyai sifat tabligh (menyampaikan risalah), sehingga mustahil baginya untuk menyembunyikan (kitman) risalah dari Allah saw. Segala sesuatu yang dilakukan oleh Rasulullah telah terakam dalam al-Qur`an dan sunnah.

Ketika kita membaca dalam sejarah bahwa Rasulullah adalah pribadi yang teguh, ikhlas, dan tegar dalam menghadapi segala macam cobaan hidup, misalnya, hal ini bisa dicari rahasia dibaliknya. Dalam hal ini Aisyah pernah mengatakan bahwa akhlak Rasulullah adalah al-Qur`an, yang berarti bahwa kandungan dan penghayatan atas ayat-ayat al-Qur`an membentuk akhlak Rasulullah.

Yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah mengenai ajaran rasulullah yang sangat sederhana namun berpotensi sangat besar dalam membentuk kepribadian seseorang, yaitu sebuah ajaran untuk mengamalkan bacaan subhanalah, alhamdu lillah dan allah akbar sebanyak 33 kali seusai menjalankan sholat lima waktu.

Pengulangan sebanyak 33 kali tersebut akan mempunyai efek psikologis dalam diri kita. Sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Stephen R. Covey, “Taburlah gagasan, petiklah perbuatan, taburlah perbuatan petiklah kebiasaan, taburlah kebiasaan, petiklah karakter, taburlah karakter, petiklah nasib”, mengucapkan dzikir tersebut akan mempunyai efek psikilogis dalam membentuk kepribadian pelakunya. Ungkapan senada juga ditemukan dalam bahasa arab, "al-`adah thab`un tsani" (kebiasaan adalah tabiat kedua).

Dengan demikian dapat dimengerti bahwa maksud dan tujuannya rutinitas dzikir dengan kalimat dan hitungan tertentu tersebut adalah supaya kata-kata itu tertanam dalam jiwa sehingga menjadi ruh dalam setiap perbuatan pelakunya. Syaratnya, hal itu musti dilakukan dengan penuh penghayatan, bukan hanya sekedar lip service atau asal-asalan. Tulisan ini akan membicarakan mengenai penghayatan atas amalan rutin tersebut.

“subhanallah, alhamdu lillah, allahu akbar”

Subhanallah maha suci allah…

Betapa hari hari manusia banyak disibukkan oleh hal-hal yang tidak suci; tidak suci dalam perbuatan, perkataan dan tidak suci dalam pola pikiran, sehingga perlu disucikan.

Subhanallah….maha suci Allah…. 
betapa mendesaknya bagi manusia untuk belajar tentang ke-mahasuci-an Allah.....sebagaiamana disabdakan oleh rasulullah,"berakhlaklah dengan akhlaq Allah".

Perlu rasanya kita merenung bahwa dengan mensucikan diri akan menuntun semua yang berhubungan dengan kita menjadi suci; pekerjaan kita, pergaulan kita, pikiran kita, semuanya akan menjadi suci...selanjutnya yang akan terjadi adalah kebaikan dan ketentraman disekeliling kita…rahmat bagi sekeliling kita…rahmat bagi dunia.

Alhamdu lillah....segala puji bagi allah...
Segala puji berarti pujian dengan berbagai macamnnya hanyalah milik Allah. Seandainya kita sebagai manusia mendapat pujian, pada hakikatnya itu adalah milik Allah, karena Allah telah memberikan kita kemampuan untuk melakukan suatu perbuatan yang menyebabkan kita mendapat pujian. Allah maha kuasa, sehingga memungkinakan baginya untuk memberikan atau menimpakan sesuatu kepada kita sehingga kita berhasil atau gagal dalam melakukan perbuatan.

Betapa mendesaknya bagi kita sebagai manusia untuk belajar menghayati makna dari alhamdu lillah ini... terutama di tengah lautan manusia yang haus akan pujian...di tengah kerumunan manusia yang berlomba-lomba untuk menonjolkan dirinya di depan orang lain atau di depan atasannya untuk mendapatkan pujian....

Alhamdu lillah, segala puji milik allah...segala sesuatu yang kita terima adalah dari Allah karena allah yang telah mengizinkan hal itu ada pada kehidupan kita...dengan penghayatan mendalam atas hal ini akan menjadikan hati kita lega dan tidak terikat dengan segala sesuatu yang ada di sekitar kita; harta kita, keluarga kita...semua itu adalah milik Allah yang dipinjamkan kepada kita...sehingga ketika sang pemilik yang sejati (Allah) memintanya kembali dari tangan kita, kita merasa lega melepasnya.

Manusia modern, yang sering dibutakan oleh hal-hal yang bersifat materi mungkin sulit untuk menerima hal ini...pikiran manusia modern sudah diracuni dengan orientasi yang bersifat materi...segala seusuatu diukur dengan materi...kesuskesan pun sering dikaitkan dengan melimpah ruahnya materi....alhamdu lillah akan menyadarkan manusia bahwa segala sesuatu tidak lepas dari campur tangan Allah…sehingga Dia layak mendapat pujian…


Allah akbar....Allah maha besar…
Inilah formula jitu untuk menghadapi kehidupan modern seperti sekarang ini. Allahu akbar...allah maha besar...berarti segala sesuatu menjadi kecil, tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan Allah. Ini adalah prinsip yang benar dalam hidup...sehingga segala sesuatu ketika dihadapkan dengan prinsip akan kehilangan nilai kebesarannya. Dengan prinsip allahu akbar, Allah maha besar, dunia akan menjadi kecil jika tidak dihubungkan dengan Allah...

Untuk menjadikan sesuatu menjadi berarti harus dikaitkan dengan allah, sehingga dengan ini sesuatu akan menjadi berarti...inilah maksud dari sabda rasulullah "segala sesuatu yang tidak dimulai dengan meyebut nama allah akan terputus (tidak berkah)".

Sebagai simpulan, ajaran sederhana Rasulullah di atas jika dengan diamalkan dengan penuh kesadaran dan penghayatan pasti akan mempunyai efek luar biasa terhadap hidup kita.

Mari kita mengamalkannya…………….