By: Kang Salim
Ada sebuah perkataan menarik dari salah seorang pemimpin di dunia Islam masa lalu. Suatu ketika Umar pernah mengatakan, “seandainya ada seekor unta yang yang terpeleset di sebuah jalan Madinah maka tentu Allah akan meng-hisab-ku (meminta pertanggungjawaban) di akhirat”.
Di tengah-tengah digelarnya pesta demokrasi di Indonesia kali ini, betapa pentingnya kalimat tersebut untuk dibaca ulang, ditafsir ulang dan yang terpenting direnungkan oleh para pelaku demokrasi….mulai dari tingkat grass root (rakyat jelata) hingga para politisi.
Menurut saya, yang perlu direnungkan di antaranya adalah:
Pertama, pengambilan contoh seekor unta. Unta dalam hal ini adalah representasi dari binatang yang akrab dengan jalan dan perjalanan. Perhatian Umar terhadap keselamatan seekor unta sungguh patut direnungi. Pemahaman dari hal itu adalah, jika unta saja diperhatikan keselamatannya, tentunya manusia mendapatkan perhatian yang lebih besar dari itu. Sebaliknya, jika manusia saja tidak diperhatikan keselamatannya, lalu masih adakah ruang untuk binatang dan kelestarian alam?
Kedua, kata-kata hisab (pertanggungjawaban). Dalam diri seorang peimpin mutlak diperlukan adanya keyakinan bahwa jabatan adalah amanah yang nantinya harus dipertanggungjawabkan. Jabatan bukanlah sebuah keleluasaan yang diperoleh seseorang untuk melakukan misi pribadinya, apalagi untuk memperkaya diri. Namun jabatan adalah sebuah amanah yang harus dijalankan dengan penuh rasa tanggung jawab, sehingga dengan demikian seseorang yang diberi amanah tersebut tidak sewenag-wenang.
Ketiga, seorang pemimpin perlu menjamin bahwa wilayah kekuasanya dalam keadaan baik. Hal ini manjdi indicator untuk menilai bobot kepemimpinan seserang. Setiap orang bisa menjadi peimpin, namun pemimpin terbagi menjadi dua, pemimpin yang berhasil dan pemimpin yang gagal.
Kepemimpinan dalam Konteks Ke-Indonesiaa-an
Untuk konteks ke-Indonesiaa-an saat ini, menurut saya telah terjadi “ke-sembrono-an” dalam memandang makna kepemimpinan. Setidaknya hal itu terlihat dalah beberapa hal sebagai berikut:
Pertama, kempemimpinan dianggap oleh masayarakat sebagai sebuah sarana untuk menjadi orang terpandang, kaya, dan berkuasa, sehingga semua berlomba-lomba untuk merebut kursi kepemimpinan. Hal itu mungkin menjadi fenomena yang salah namun kaprah, karena pada realitanya para pemimpin kita bergelimang harta. Lihat contohnya, ketika harta capres dan cawapres diperiksa oleh KPK ternyata para pemimpin bangsa ini adalah para milyarder.
Sebuah kata mutiara arab mengatakan bahwa “ro`isu al-qaumi khadimuhum” (pemimpin suatu kaum adalah pelayan bagi kaum tersebut). Alih-alih menjadi pelayan masyarakat, para pemimpin justru menjadi penguasa atas masyarakat. Alih-alih untuk memperbaiki kehidupan rakyat yang dipimpinnya, mereka justru sibuk memperkaya diri mereka, membela reputasinya, dan lain sebagainya sehingga banyak lahan garapan yang terbengkalai.
Hasilnya, kepemimpinan yang seharusnya menjadi amanah menjadi terbaikan.
Kedua, tipisnya iman para pemimpin kita. Sebagai Negara beragama saya perlu mengangkat tema ini, sebab semua agama mengajarkan tentang kebaikan. Semua agama menagtakan bahwa korupsi itu pekerjaan setan, mengeksploitasi manusia bukanlah pekerjaan yang mulia, menyalahgunakan jabatan untuk keperluan yang sifatnya pribadi adalah menyalahi amanah. Namun apa yang terjadi, para pemimpin yang beragama, bahkan yang muslim sering memakai peci, masih banyak yang terjerat korupsi, penyalahgunaan jabatan dan lain sebagainya. Sebagai seorang beragama dan beriman tentunya mempunyai control diri, sebagai janji setia antara diri dengan Tuhan yang maha kuasa. Pelanggaran atas janji setia itu merupakan bukti tipisnya iman seseorang. Barangkali tuhan tidak pernah hadir dalam hati orang seperti itu, dan sebagai gantinya setan senantiasa bersemayam di dalam hatinya.
Ketiga, terjadinya krisis kepemimpinan. Pembaca boleh setuju atau tidak dengan istilah ini, mengingat banyaknya wadah yang berlabel training kepemimpinan di Indonesia. Menurut saya, menjamurnya training dan pelatihan tentang kepemimpinan tidak identik dengan bermunculannya banyak pemimpin. Karena, menurut saya, iklim Indonesia tidak kondusif untuk melahirkan para pemimpin yang handal. Ingat, setelah Soekarno adakah pemipin Indonesia dalam arti yang seusungguhnya? Seorang peimpin yang bisa diterima oleh mayoritas rakyat Indonesia? Yang lahir di Indonesia pasca Soekarno hanyalah pemimpin-pemimpin sektoral dan temporal. Di Indonesia hanya ada pemimpin NU, Muhammadiyah, Akmadiyyah, dll. Belum ada, hingga saat ini, pemimpin yang bisa merengkuh semua unsure masyarakat.
Sebelum tulisan ini diakhiri perlu rasanya diketengahkan sebuah polemik mengenai kepemimpinan, “some people said that a leader is not created but they born, but the other said that someone can be a leader when he/she learn how to lead....”.
Bagi saya, seseorang harus belajar untuk menjadi seorang pemimpin. Belajra dari para pemimpin terdahulu, belajar mengenai nilai-nilai positif dari mereka, belajar mengani pahit manisnya menjadi pemimpin, dan sebagainya. Jika semua itu telah mantap dalam diri seseorang, barulah ia dengan sendirinya akan memamncarkan aura kepemimpinan yang bisa dilihat dan dirasakan oleh masyarakat. Ibarat anak ayam, jika sudah matang untuk lahir ke dunia maka kulit telur akan retak, pecah dan lahirlah seekor anak ayam…
Intinya, seorang yang ingin menjadi pemimpin haruslah matang jiwa dan raganya, sehingga ia tidak hanya menjadi pemimpin karbitan yang tidak mampu melakukan perubahan positif bagi bangsa dan negaranya.
Ingat, Indonesia sudah 63 tahun lebih merdeka, namun masih menjadi bangsa yang terbelakang, baik secara moral, material, maupun spiritual…..
Terakhir, mohon maaf karena tulisan ini hanya memaparkan permasalahan tanpa memberi jawaban, sebab saya yakin seyakin-yakinnya bahwa jawabannya masih tersembunyi dalam diri kita masing-masing.
Mari berbuat untuk bangsa dan Negara kita, karena, meminjam istilah Sutrisno Bachir (meskipun sudah basi) “Hidup adalah Perbuatan”, atau, meminjam ungkapan dari arab, “al-hayah al-harakah” (nggak ada gerak berarti mati).
Semoga bermanfaat!!!
Ada sebuah perkataan menarik dari salah seorang pemimpin di dunia Islam masa lalu. Suatu ketika Umar pernah mengatakan, “seandainya ada seekor unta yang yang terpeleset di sebuah jalan Madinah maka tentu Allah akan meng-hisab-ku (meminta pertanggungjawaban) di akhirat”.
Di tengah-tengah digelarnya pesta demokrasi di Indonesia kali ini, betapa pentingnya kalimat tersebut untuk dibaca ulang, ditafsir ulang dan yang terpenting direnungkan oleh para pelaku demokrasi….mulai dari tingkat grass root (rakyat jelata) hingga para politisi.
Menurut saya, yang perlu direnungkan di antaranya adalah:
Pertama, pengambilan contoh seekor unta. Unta dalam hal ini adalah representasi dari binatang yang akrab dengan jalan dan perjalanan. Perhatian Umar terhadap keselamatan seekor unta sungguh patut direnungi. Pemahaman dari hal itu adalah, jika unta saja diperhatikan keselamatannya, tentunya manusia mendapatkan perhatian yang lebih besar dari itu. Sebaliknya, jika manusia saja tidak diperhatikan keselamatannya, lalu masih adakah ruang untuk binatang dan kelestarian alam?
Kedua, kata-kata hisab (pertanggungjawaban). Dalam diri seorang peimpin mutlak diperlukan adanya keyakinan bahwa jabatan adalah amanah yang nantinya harus dipertanggungjawabkan. Jabatan bukanlah sebuah keleluasaan yang diperoleh seseorang untuk melakukan misi pribadinya, apalagi untuk memperkaya diri. Namun jabatan adalah sebuah amanah yang harus dijalankan dengan penuh rasa tanggung jawab, sehingga dengan demikian seseorang yang diberi amanah tersebut tidak sewenag-wenang.
Ketiga, seorang pemimpin perlu menjamin bahwa wilayah kekuasanya dalam keadaan baik. Hal ini manjdi indicator untuk menilai bobot kepemimpinan seserang. Setiap orang bisa menjadi peimpin, namun pemimpin terbagi menjadi dua, pemimpin yang berhasil dan pemimpin yang gagal.
Kepemimpinan dalam Konteks Ke-Indonesiaa-an
Untuk konteks ke-Indonesiaa-an saat ini, menurut saya telah terjadi “ke-sembrono-an” dalam memandang makna kepemimpinan. Setidaknya hal itu terlihat dalah beberapa hal sebagai berikut:
Pertama, kempemimpinan dianggap oleh masayarakat sebagai sebuah sarana untuk menjadi orang terpandang, kaya, dan berkuasa, sehingga semua berlomba-lomba untuk merebut kursi kepemimpinan. Hal itu mungkin menjadi fenomena yang salah namun kaprah, karena pada realitanya para pemimpin kita bergelimang harta. Lihat contohnya, ketika harta capres dan cawapres diperiksa oleh KPK ternyata para pemimpin bangsa ini adalah para milyarder.
Sebuah kata mutiara arab mengatakan bahwa “ro`isu al-qaumi khadimuhum” (pemimpin suatu kaum adalah pelayan bagi kaum tersebut). Alih-alih menjadi pelayan masyarakat, para pemimpin justru menjadi penguasa atas masyarakat. Alih-alih untuk memperbaiki kehidupan rakyat yang dipimpinnya, mereka justru sibuk memperkaya diri mereka, membela reputasinya, dan lain sebagainya sehingga banyak lahan garapan yang terbengkalai.
Hasilnya, kepemimpinan yang seharusnya menjadi amanah menjadi terbaikan.
Kedua, tipisnya iman para pemimpin kita. Sebagai Negara beragama saya perlu mengangkat tema ini, sebab semua agama mengajarkan tentang kebaikan. Semua agama menagtakan bahwa korupsi itu pekerjaan setan, mengeksploitasi manusia bukanlah pekerjaan yang mulia, menyalahgunakan jabatan untuk keperluan yang sifatnya pribadi adalah menyalahi amanah. Namun apa yang terjadi, para pemimpin yang beragama, bahkan yang muslim sering memakai peci, masih banyak yang terjerat korupsi, penyalahgunaan jabatan dan lain sebagainya. Sebagai seorang beragama dan beriman tentunya mempunyai control diri, sebagai janji setia antara diri dengan Tuhan yang maha kuasa. Pelanggaran atas janji setia itu merupakan bukti tipisnya iman seseorang. Barangkali tuhan tidak pernah hadir dalam hati orang seperti itu, dan sebagai gantinya setan senantiasa bersemayam di dalam hatinya.
Ketiga, terjadinya krisis kepemimpinan. Pembaca boleh setuju atau tidak dengan istilah ini, mengingat banyaknya wadah yang berlabel training kepemimpinan di Indonesia. Menurut saya, menjamurnya training dan pelatihan tentang kepemimpinan tidak identik dengan bermunculannya banyak pemimpin. Karena, menurut saya, iklim Indonesia tidak kondusif untuk melahirkan para pemimpin yang handal. Ingat, setelah Soekarno adakah pemipin Indonesia dalam arti yang seusungguhnya? Seorang peimpin yang bisa diterima oleh mayoritas rakyat Indonesia? Yang lahir di Indonesia pasca Soekarno hanyalah pemimpin-pemimpin sektoral dan temporal. Di Indonesia hanya ada pemimpin NU, Muhammadiyah, Akmadiyyah, dll. Belum ada, hingga saat ini, pemimpin yang bisa merengkuh semua unsure masyarakat.
Sebelum tulisan ini diakhiri perlu rasanya diketengahkan sebuah polemik mengenai kepemimpinan, “some people said that a leader is not created but they born, but the other said that someone can be a leader when he/she learn how to lead....”.
Bagi saya, seseorang harus belajar untuk menjadi seorang pemimpin. Belajra dari para pemimpin terdahulu, belajar mengenai nilai-nilai positif dari mereka, belajar mengani pahit manisnya menjadi pemimpin, dan sebagainya. Jika semua itu telah mantap dalam diri seseorang, barulah ia dengan sendirinya akan memamncarkan aura kepemimpinan yang bisa dilihat dan dirasakan oleh masyarakat. Ibarat anak ayam, jika sudah matang untuk lahir ke dunia maka kulit telur akan retak, pecah dan lahirlah seekor anak ayam…
Intinya, seorang yang ingin menjadi pemimpin haruslah matang jiwa dan raganya, sehingga ia tidak hanya menjadi pemimpin karbitan yang tidak mampu melakukan perubahan positif bagi bangsa dan negaranya.
Ingat, Indonesia sudah 63 tahun lebih merdeka, namun masih menjadi bangsa yang terbelakang, baik secara moral, material, maupun spiritual…..
Terakhir, mohon maaf karena tulisan ini hanya memaparkan permasalahan tanpa memberi jawaban, sebab saya yakin seyakin-yakinnya bahwa jawabannya masih tersembunyi dalam diri kita masing-masing.
Mari berbuat untuk bangsa dan Negara kita, karena, meminjam istilah Sutrisno Bachir (meskipun sudah basi) “Hidup adalah Perbuatan”, atau, meminjam ungkapan dari arab, “al-hayah al-harakah” (nggak ada gerak berarti mati).
Semoga bermanfaat!!!