By: Kang salim
Pesta Demokrasi rakyat Indonesia belum usai. Masih ada babak selanjutnya yakni pemilihan presiden dan wakil presiden tanggal 8 Juli 2009 mendatang.
Dalam pemilu legislatif pada tanggal 9 April 2009 kemarin, KPU menetapkan bahwa dari 38 partai politik nasional, hanya 9 partai yang memenuhi ambang batas perolehan suara 2,5 persen. Sementara 29 partai lainnya harus tersingkir. Kesembilan partai tersebut adalah Partai Demokrat dengan perolehan 21.703.137 suara (20,85%, 148 kursi), Partai Golkar 15.037.757 suara ( 14,45%, 108 kursi), PDI-Perjuangan 14.600.091 suara (14,03%, 93 kursi), PKS 8.206.955 suara (7,88%, 59 kursi), PAN 6.254.580 suara (6,01%, 42 kursi), PPP 5.533.214 suara (5,32%, 39 kursi), PKB 5.146.122 suara (4,94%, 26 kursi), Gerindra 4.646.406 suara (4,46%, 30 kursi) dan Hanura 3.922.870 suara (3,77%, 15 kursi).
Hasil tersebut memberikan tamparan cukup keras bagi partai-partai gurem yang “rumongso” (merasa) dirinya besar dan layak memawakili suara rakyat Indonesia. Dengan kenyataan tersebut 29 partai yang gagal dalam pemilu legislative 2009 kali ini perlu introspeksi diri bahwa partainya ternyata tidak mandapat simpati dari rakyat Indonesia.
Setidaknya, ada dua hal yang perlu dicatat oleh parta-partai yang gagal tersebut:
Pertama, keyakinan akan adanya dukungan dari rakyat mestinya dibarengi dengan observasi yang meyakinkan tentang adanya dukungan tersebut, sebab dalam masalah ini spekulasi politik akan berakibat mencoreng muka sendiri. Dengan perolehan suara yang tidak signifikan, padahal sebelumnya melakukan kampanye yang berapi-api tentunya mempermalukan diri sendiri dan menjadikan partai tersebut ditertawakan orang.
Kedua, jangan hanya karena sedikit berbeda dengan yang lain (mayoritas) lantas menganggap bahwa diri dan kelompoknya merasa pantas untuk menjadi aspirator rakyat. Ingat, keinginan untuk tampil beda sering kali didasari rasa ingin menonjol dan terkenal, bahkan sering kali tidak disertai niat yang tulus. Keinginan untuk memperbaiki bangsa ini bukan perkara yang gampang, hal itu diperlukan usaha secara kolektif dari semua elemen bangsa. Dalam hal ini persatuan lebih baik dari pada tercerai berai dalam partai-partai kecil.
Dari sekilas peristiwa tersebut perlu rasanya bagi para aktor politik Indonesia untuk merenungkan kembali pesan dari pendahulu kita untuk senantiasa “Iso Rumongso” (tahu diri) bukan “Rumongso Iso” (merasa mampu, padahal tidak).
Semoga semua bisa bercermin dari kejadian ini…!!!! Amin.
Pesta Demokrasi rakyat Indonesia belum usai. Masih ada babak selanjutnya yakni pemilihan presiden dan wakil presiden tanggal 8 Juli 2009 mendatang.
Dalam pemilu legislatif pada tanggal 9 April 2009 kemarin, KPU menetapkan bahwa dari 38 partai politik nasional, hanya 9 partai yang memenuhi ambang batas perolehan suara 2,5 persen. Sementara 29 partai lainnya harus tersingkir. Kesembilan partai tersebut adalah Partai Demokrat dengan perolehan 21.703.137 suara (20,85%, 148 kursi), Partai Golkar 15.037.757 suara ( 14,45%, 108 kursi), PDI-Perjuangan 14.600.091 suara (14,03%, 93 kursi), PKS 8.206.955 suara (7,88%, 59 kursi), PAN 6.254.580 suara (6,01%, 42 kursi), PPP 5.533.214 suara (5,32%, 39 kursi), PKB 5.146.122 suara (4,94%, 26 kursi), Gerindra 4.646.406 suara (4,46%, 30 kursi) dan Hanura 3.922.870 suara (3,77%, 15 kursi).
Hasil tersebut memberikan tamparan cukup keras bagi partai-partai gurem yang “rumongso” (merasa) dirinya besar dan layak memawakili suara rakyat Indonesia. Dengan kenyataan tersebut 29 partai yang gagal dalam pemilu legislative 2009 kali ini perlu introspeksi diri bahwa partainya ternyata tidak mandapat simpati dari rakyat Indonesia.
Setidaknya, ada dua hal yang perlu dicatat oleh parta-partai yang gagal tersebut:
Pertama, keyakinan akan adanya dukungan dari rakyat mestinya dibarengi dengan observasi yang meyakinkan tentang adanya dukungan tersebut, sebab dalam masalah ini spekulasi politik akan berakibat mencoreng muka sendiri. Dengan perolehan suara yang tidak signifikan, padahal sebelumnya melakukan kampanye yang berapi-api tentunya mempermalukan diri sendiri dan menjadikan partai tersebut ditertawakan orang.
Kedua, jangan hanya karena sedikit berbeda dengan yang lain (mayoritas) lantas menganggap bahwa diri dan kelompoknya merasa pantas untuk menjadi aspirator rakyat. Ingat, keinginan untuk tampil beda sering kali didasari rasa ingin menonjol dan terkenal, bahkan sering kali tidak disertai niat yang tulus. Keinginan untuk memperbaiki bangsa ini bukan perkara yang gampang, hal itu diperlukan usaha secara kolektif dari semua elemen bangsa. Dalam hal ini persatuan lebih baik dari pada tercerai berai dalam partai-partai kecil.
Dari sekilas peristiwa tersebut perlu rasanya bagi para aktor politik Indonesia untuk merenungkan kembali pesan dari pendahulu kita untuk senantiasa “Iso Rumongso” (tahu diri) bukan “Rumongso Iso” (merasa mampu, padahal tidak).
Semoga semua bisa bercermin dari kejadian ini…!!!! Amin.
No comments:
Post a Comment