Oleh kangsalim79
Dalam dasawarsa terakhir ini, perbankan syariah terus menunjukkan perkembangan yang sangat pesat. Bank-bank konvensional pun mulai berlomba membuka divisi syariah karena melihat minat masyarakat yang demikian tinggi pada produk perbankan syariah. Bayangkan, di Indonesia berpenduduk muslim sekitar 200 juta, dan itu merupakan pangsa pasar yang sangat menggiurkan.
Ditilik dari perjalanan selama lima tahun terakhir saja perkembanagn tersebut sudah jelas terlihat, dimana pada tahun 2004 misalnya, menurut pemberitaan Sinar harapan, ada 10 bank syariah yang terdiri dari dua bank umum yaitu Bank Muamalat dan Bank Syariah Mandiri, dan 8 Unit Usaha Syariah (UUS), yaitu PT Bank IFI, Bank Negara Indonesia, Bank Jabar, Bank Rakyat Indonesia, Bank Danamon, Bank Bukopin, Bank Internasional Indonesia, dan HSBC. Data menunjukkan, sampai Mei pada tahun tersebut (2004), aset perbankan syariah mencapai Rp 11,56 triliun atau tumbuh 131 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2003 yang sebesar Rp 5 triliun.
Saat ini, menurut pemberitaan Kompas pada tanggal 2 September 2009, total bisnis syariah di Indonesia diperkirakan mencapai 2 miliar dollar AS (setara dengan 20 trilyun rupiah). Dilihat dari jumlah istitusinya juga mengalami pertambahan yang signifikan dimana tertacatat ada 5 Bank syariah, 25 unit usaha syariah, dan 133 BPR Syariah.
Dengan adanya fenomena tersebut, di satu sisi, sebagai seorang muslim kita patut berbangga karena ternyata produk yang berlabel Islam mendapatkan apresiasi positif dari umat Islam. Hal ini setidaknya memberikan suatu indikasi bahwa Islam secara lambat laun semakin menggeliat di Indonesia.
Namun di sisi lain ada sebersit kekhawatiran bahwa telah terjadi upaya “kapitalisi agama” yang berkedok ke-Islaman-an. Dalam bahasa al-Qur`an ada peringatan mengenai larangan “menjual agama” sebagaimana tertera dalam firman Allah pada surat al-Baqarah 41: ”Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang murah”.
Kekhawatiran akan adanya fenomena “kapitalisi agama” tersebut, menurut penulis, bisa dilihat dari beberapa hal, di antaranya adalah:
a. Ke-(tidak)-seriusan para pelaku perbankan Islam yang masih dipersoalkan.
Hal ini bisa dilihat dari banyaknya keluhan yang dilontarkan oleh para nasabah yang mengarah para kurangnya profesionalisme para pelaku perbankan Islam. Dalam hal Dewan Pengawas Syariah (DPS), misalnya, sebuah badan yang mempunyai strategis seharusnya merupakan seorang profesional, namun realitanya cukup banyak contoh yang dapat terlihat kasat mata bahwasanya sebagian besar (atau mungkin seluruhnya) anggota DPS yang sekarang ada hanya bekerja paruh waktu. Dari sisi para eksekutif juga banyak dari mereka yang tidak mempunyai kualifikasi secara legal sebagai seorang sarjana yang berpengetahuan ekonomi Islam secara memadai, alih-alih memahami Islam secara integral (kaffah).
Akibatnya, ada sebuah pertanyaan yang mengganjal, ”benarkan aktivitas mereka didasari semangat ke-Islama-an yang benar atau hanya ”menjual” produk berlabel Islam?”
b. Motivasi para nasabah.
Dari beberapa hasil survei yang dipublikasikan, sebagian besar nasabah perbankan Islam mendasari pilihannya karena pertimbangan ideologis/agama. Kebanyakan mereka, meskipun mengakui bahwa bank konvensional lebih baik daripada bank syariah, namun dorongan untuk mencari sistem perekonomian yang halal ”memaksa” mereka untuk beralih pada perbankan syariah. Hal ini, secara disengaja atau tidak sering dijadikan komoditi bagi para pelaku perekonomian syariah untuk menyentuh sentimen keberagamaan umat Islam.
Akibat yang ditimbulkan, ke-kurang-profesional-an perbankan Islam ditutupi dengan adanya ”kewajiban” umat Islam untuk tidak berpaling dari sistem berbasis Islam.
c. Masih belum mengakarnya penerapan ajaran Islam dalam kehidupan umat Islam di Indonesia.
Sistem perekonomian berbasis syariah seharusnya tumbuh dan berkembang dalam masyarkat yang mempunyai basis ke-Islam-an yang kuat. Sistem prekonomian semacam itu merupakan jalan hidup bagi mereka.
Indonesia, adalah negara yang ”tidak jelas” statusnya. Ia, meskipun merupakan negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, tidak cocok disebut sebagai negara agama karena, misalnya, sistem hukum yang diberlakukan masih hukum konvensional peninggalam penjajah yang nota bene beragama non-Islam. Begitu pula ia tidak cocok disebut sebagai negara sekuler, karena dalam kehidupan publik misalnya, negara masih turut campur dalam hal keagamaan yang merupakan wilayah privat, bahkan dalam kabinet Indonesia ada menteri agama.
Jika kemudian terlihat sebuah paradoks, dimana perbankan Islam tumbuh pesat di negara yang tidak sepenuhnya menjalankan syariat Islam, akan diperoleh indikasi awal bahwa tumbuh pesatnya perbankan Islam tersebut bukan didasari semangat keberagamaan yang mengakar.
Tiga faktor di atas berpotensi besar untuk menjerumuskan perbankan Islam ke arah ”kapitalisasi agama” atau menukar agama dengan dunia, yang disebuat dalam al-Qur`an sebagai menjual agama dengan harga yang rendah.
Di tengah geliat tumbuhnya perbankan syariah di Indonesia saat ini, masalah ini layak untuk dijadikan bahan evaluasi untuk mengarah menuju perbankan syariah yang sesuai dengan ajaran Islam yang sesungguhnya.
No comments:
Post a Comment