Oleh : KANGSALIM
Abstrak
Negara Indonesia adalah negara hukum. Hal ini adalah merupakan kesepakatan bersama yang dijadikan dasar negara, meskipun secara jelas dan lugas hal itu baru dituliskan dan diproklamirkan dalam perubahan Undang-Undang Dasar 1945 pada BAB I tentang BENTUK DAN KEDAULATAN. Pada UUD 45 sebelumnya pasal 1 berbunyi :
(1) Negara Indonesia adalah negara kesatuan, yang berbentuk republik.
(2) Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Pasal tersebut kemudian diubah dan ditambah menjadi :
(2) Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksankan menurut Undang-undang Dasar.
(3) Negara Indonesia adalah negara hukum.
Hal ini berarti bahwa negara Indonesia berdasar atas hukum (rechsstaat) dan tidak berdasarkan kekuasaan belaka (machsstaat).
Semakin sadarnya masyarakat terhadap keberadaan nasib bangsa ini membuka mata mereka untuk selalu berpandangan lebih maju dalam mengambil keputusan dan kesepakatan bersama yang kelak akan menentukan keberlangsungan bangsa ini ke depan. Puncak dari kesadaran itu menemukan momentumnya pada era reformasi.
Reformasi yang bergaung keras, adalah merupakan reaksi terhadap kondisi dan pengalaman masa lalu, yang lebih menitikberatkan pada pembangunan ‘politik sebagai panglima’ pada masa Orde Lama ; yang kemudian diteruskan pada zaman Orde Baru, dengan menitikberatkan pada pembangunan ‘ekonomi sebagai panglima’, yang kemudian bermuara pada berbagai krisis. Dari pengalaman masa lalu yang dianggap gagal ini, elit dan massa Orde Reformasi telah memilih mengalihkan pandangan kepada “hukum” sebagai panglima yang baru. Pemilihan ini dianggap wajar, seiring dengan maraknya tuntutan untuk mewujudkan ‘Civil Society’ yang di dalamnya terkandung tuntutan akan adanya tatanan hukum dan penegakan hukum yang berkualitas dan berbudaya. (Gunaryo, (Ed.), 2001 : 184).
Rupanya, kesadaran bangsa Indonesia untuk bangkit dari keterpurukan tidak dilaksankan dengan sepenuh hati. Masih banyak oknum, baik yang terpelajar ataupun awam, yang tidak sadar hukum, sehingga dengan sengaja atau tidak sengaja mereka menginjak-injak supremasi hukum. Hal itu ditandai dengan maraknya praktek pelanggaran hukum, korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Ironisnya, negara yang memproklamirkan diri sebagai negara hukum, ternyata selalu menduduki rangking atas dalam barisan negara-negara terkorup di dunia. Pun ketika gaung reformasi masih begitu keras, pada tahun 1999, Indonesia menempati rangking ketiga dari 99 negara terkorup.
Hari demi-demi hari dilalui oleh bangsa ini, namun citra buruk tak pernah lenyap dari langi-langitnya, bahkan dengan diberlakukannya otonomi daerah ternyata hanya memperjelas adanya “pemerataan korupsi” sampai ke daerah-daerah. Jika pada masa lalu korupsi berkutat pada pemerintahan di tingkat pusat, namun saat ini korupsi menyebar ke mana-mana dengan lebih liar dari yang sebelumnya.
Masalah korupsi semakin menggelisahkan, karena pemerintah tidak mampu menanggulangi dan memberantasnya dengan baik, sebagaimana yang diharapkan oleh masyarakat.
Para pengamat hukum mungkin menuduh bahwa merebaknya KKN dan sulitnya pemerintah dalam membendung hal itu disebabkan karena hukum positivistik yang dianut Indonesia tidak mampu menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran sosial yang terjadi secara massif. Kaum agamawan bisa berasumsi bahwa merebaknya KKN diakibatkan karena minimnya masyarakat Indonesia dalam menjalankan perintah agamanya masing-masing secara mendalam. Begitu pula para ahli dalam bidangnya ; seperti ekonom, politikus, budayawan, dan lain-lain, mereka akan selalu mengaitkan fenomena KKN dengan kaca mata mereka masing-masing.
Mungkin kita harus sepakat dan sependapat bahwa maraknya korupsi dan sulitnya pemerintah dalam menanganinya, tidak bisa di pandang hanya dari satu sisi saja. Ia harus dilihat dari berbagai sudut yang dianggap mempunyai andil dalam mendukung terjadinya praktek KKN. Oleh karena itu nanti akan dibahas tentang korupsi sebagai masalah ekonomi, politik, dan budaya.
Tulisan ini akan menitikberatkan pada sudut pandang hukum. Dan pertanyaan utamanya adalah, mampukah hukum yang dianut Indonesia menyelesaikan kasus KKN? Mengapa? Makalah sederhana ini akan mencoba menjawabnya.
Kata-kata kunci: paradigma positivistik, undang-undang “main sikat”, kelemahan hukum positifistik Indonesia, korupsi sebagai masalah ekonomi, politik dan kebudayaan.
Hukum dan Masyarakat
Manusia merupakan makhluk yang bersegi jasmaniah (raga) dan rohaniah (jiwa). Segi rohaniah manusia terdiri dari pikiran dan perasaan. Apabila diserasikan akan menghasilkan kehendak yang kemudian menjadi sikap tindak. Sikap tindak itulah yang kemudian menjadi landasan gerak segi jasmaniah manusia. Begitu pula manusia mempunyai naluri untuk senantiasa berhubungan dengan sesamanya. Dan pola pikir tertentu yang dianut seseorang akan mempengaruhi sikapnya. Sikap tersebut akan merupakan kecenderungan untuk berbuat atau tidak berbuat terhadap manusia, benda, atau keadaan. (Soekanto, 2003 : 117).
Manusia, berdasarkan kondisi sosial budaya yang membesarkannya, mempunyai cara pandang yang berbeda-beda. Masalah yang sama, misalnya, akan ditanggapi berbeda-beda oleh orang-orang yang mempunyai latar belakang yang berbeda.
Masyarakat (community), adalah sebuah istilah yang menunjuk pada warga sebuah desa, kota, suku atau bangsa (Soekanto, 2003 : 149) yang didalamnya berkumpul individu, kelompok, dan organisasi sosial yang bermacam-macam yang mempunyai cara pandang dan pemahaman sendiri-sendiri dalam kehidupan kesehariannya. Begitu juga, masing-masing mempunyai hak dan kewajibannya sendiri.
Jika tidak ada “kekuatan” yang berkuasa di atas kekuatan individu dan kelompok di atas, maka masing-masing akan berjalan sesuai dengan kemauannya maupun kemauan kelompoknya, maka yang terjadi adalah benturan antara individu dengan individu, individu dengan kelompok, dan kelompok dengan kelompok. Akhirnya, akan terjadi kekacauan dan kehidupan tidak akan menemukan kedamaian dan keteraturan. Oleh karena itu “kekuatan” tersebut mutlak diperlukan.
Dari dulu hingga sekarang kelompok masyarakat mengalami perjalanan sejarah, dari masyarakat yang sederhana menuju masyarakat yang lebih modern. Hal itu disebabkan karena kelompok sosial bukan merupakan kelompok yang statis. Setiap kelompok sosial pasti mengalami perkembangan serta perubahan. Pada umumnya kelompok sosial mengalami perubahan sebagai akibat proses formasi atau reformasi dari pola-pola di dalam kelompok tersebut, karena pengaruh dari luar. Keadaan yang tidak stabil dalam kelompok sosial terjadi karena konflik antar individu dalam kelompok atau karena adanya konflik antar bagian kelompok tersebut sebagai akibat tidak adanya keseimbangan antara kekuatan-kekuatan di dalam kelompok itu sendiri. Ada bagian atau segolongan dalam kelompok itu yang ingin merebut kekuasaan dengan mengorbankan golongan lainnya; ada kepentingan yan gtidak seimbang sehingga timbul ketidakadilan; ada pula perbedaan paham tentang cara-cara memenuhi tujuan kelompok dan lain sebagainya. Kesemuanya itu mengakibatkan perpecahan di dalam kelompok hingga timbul perubahan struktur. Timbulnya struktur yang baru pada akhirnya juga bertujuan untuk mencapai keadaan stabil di kemudian hari (Soekanto, 2003 : 163-164).
Konkretnya, dalam kehidupan masyarakat menuju pembentukan negara modern terjadi melalui beberapa tahap. Di situ terlihat terjadinya pengorganisasian masyarakat yang semakin meningkat. Hal itu dikemukakan oleh Gianfranco Poggi sebagai berikut :
(1) Feodalisme
(2) Standestaat
(3) Absolutisme
(4) Masyarakat sipil (civil society)
(5) Negara konstusional.
Masyarakat feodal dapat dilukiskan sebagai suatu komunitas yang bersendikan hubungan antara yang dipertuan dengan abdinya. Timbulanya feodalisme ini disebabkan oleh terjadinya kekosongan dalam struktur kekuasaan di Eropa Barat yang pada gilirannya menimbulkan suatu keadaan yang kacau.
Dalam perkembangannya, feodalisme tersebut mengalami perubahan dalam struktur dirinya. Ciri kesetiaan antara yang dipertuan dan kawulanya berubah, karena para kawula yang juga bisa mempunyai bawahannya sendiri kemudian lebih memikirkan untuk melanggengkan kekuasaan “ke bawah”. Bagaimanapun, feodalisme itu telah memberikan sahamnya sendiri untuk perkembangan keadaan di bagian benua itu. Ia merupakan percobaan pertama untuk menciptakan suatu kerangka sistem peraturan atas tanah-tanah yang selama ini telah diterlantarkan dan berada dalamketidakpastian. Melalui feodalisme ini, kepada kelas tersebut diberikan kekuasaan yang melampaui hakikat kemiliterannya dan para prajurit ini secara pelan-pelan tetapi pasti juga didorong untuk memperhatikan segi-sgi keadilan, menghormati tradisi-tradisi lokal, melindungi yang lemah, dan mempraktekkan tindakan bertanggung jawab. Dari sinilah nantinya muncul kebangsawanan Eropa dan merupakan cikal bakal dari standestaat nantinya (Raharjo, 2000 : 218).
Dengan berjalannya waktu dialektika hukum dan masyarakat semakin mengarah menuju perbaikan, hingga akhirnya terciptalah sebuah negara yang masyarakatnya secara sadar dan sistematik mendasarkan pada hukum atau yang biasa disebut dengan negara konstitusional.
Hal penting yang harus dicermati di sini adalah bahwa untuk sampai pada sebuah negara konstitusional, masyarakat atau suatu bangsa menempuh jalan yang berliku-liku dan melalui beberapa tahap. Hal ini akan menjadikan sebuah hukum mempunyai akar yang kuat karena tidak terpisah dari realitas yang selalu bergumul dengan masyarakatnya.
Dari sini dapat dimaklumi bahwa hukum yang diambil dari kondisi sosiologis yang berbeda dengan suatu masyarakat dimana hukum tersebut diterapkan, akan mengakibatkan hukum tersebut rapuh dan tidak kuat mengakar. Akibatnya, hukum menjadi mandul dan tidak mampu menjalankan fungsinya sebagaimana yang diharapkan.
Untuk lebih memperjelas kebenaran asumsi di atas penulis akan mengarahkan pembahasan pada kasus negara Indonesia, yang menerapkan sistem hukum yang bercorak posifistik yang diambil dari Eropa.
Yang menjadi permasalahan adalah, sudah benarkah para politikus dan penentu kebijakan pada masa awal kemerdekaan Indonesia ketika mereka menerapkan sebuah pilihan sistem hukum yang diadopsi dari Eropa, khususnya Belanda? Apakah hukum tersebuat sesuai dengan kondisi sosiologis Indonesia? Hal ini akan dicoba untuk dibahas.
Pembahasan akan dilakukan secara sistematis, yaitu dimulai dengan mengemukakan paradigma hukum positivistik, kelebihan dan kekurangannya, serta apakah ia sesuai untuk indonesia atau tidak.
Paradigma Hukum Positivistik
Kata paradigm merupakan istilah yang “ngetrend” di telinga para ilmuwan di setiap waktu. Biasanya, ketika seseorang berbicara tentang paradigma ia tidak akan lupa menyebut nama Thomas Kuhn, yang pada tahun 1970 menerbitkan bukunya yang berjudul The Structure of Scientific Revolution.
Paradigma, dalam bahasa Inggris “paradigm”, dari bahasa Yunani “para deigma”, dari “para” (di samping, di sebelah) dan “dekynai” (memperlihatkan ; yang berarti ; model contoh ; arketipe ; ideal). Menurut Oxford English Dictionary, paradigm atau paradigma adalah contoh atau pola. (Salman dan Susanto, 2005 : 67).
Dalam gagasan Thomas Kuhn, tidak ditemukan makna teknis apa yang disebut paradigma itu. Konsep paradigma dalam pandagannya lebih kepada sesuatu yang bersifat “metateoretis”. Namun demikian apabila ditelaah secara mendalam paling tidak ada beberapa hal yang diambil dari pandangan Kuhn mengenai paradigma ;
a) Paradigma dilihat sebagai model, percontohan, representatif, tipikal, karakteristik atau ilustrasi dari solusi permasalahan atau pencapaian dalam suatu bidang ilmu pengetahuan. Pemahaman paradigma berkembang luas meliputi buku-buku klasik dimana model atau percontohan yang telah diterima tersebut pertama kali muncul ;
b) Paradigma tidak hanya terbentuk oleh teori-teori semata, tetapi merupkan suatu masterpiece yang mencakup semua unsur praktek-praktek ilmiah / ilmu pengetahuan di dalam sebuah area of inquiry atau bidang studi / penelitian yang terspesialisasi. Paradigma akan menggariskan paramete-parameter penting mana yang akan diukur, mendefinisikan standar ketetapan yang dibutuhkan, menunjukkan cara bagaimana (hasil) observasi akan diinterpretasi, serta metode eksperimen mana yang akan dipilih untuk diterapkan ;
c) Makna paradigma meliputi keseluruhan koleksi, kelompok, kombinasi, paduan, campuran dari komitmen yang diterima, diakui dan diyakini, dianut, dipegang, dipakai atau diterapkan bersama oleh anggota-anggota komunitas ilmu pengetahuan tertentu. Secara lebih luas paradigma oleh Kuhn disebut sebagai diciplinary matrix, yakni sudut pangkal, wadah, tempat, cetakan, sumber atau kandungan di / darimana suatu disiplin ilmu pengetahuan bermula. Bagi Kuhn paradigma sebagai suatu diciplinary matrix memempati posisi yang betul-betul sentral di dalam operasi kognitif dari komunitas ilmiah. (Robert Friderik dalam Salman dan Susanto, 2005 : 69).
Dalam bahasa yang sederhana, ketika menjelaskan tentang paradigma Fikih misalnya, Jalaluddin Rahmat mengatakan bahwa paradigma adalah cara memandang. Paradigma mirip dengan kacamata yang kita pergunakan. Dengan kacamata kuda, kita akan melihat apa yang ada di depan mata saja. Kita tidak dapat melihat ke kiri dan ke kanan.
Lebih lanjut ia mengatkan bahwa paradigma adalah kacamata “batin” kita –kacamata persepsi kita. Paradigma menentukan apa yang kita yakini dan pada akhirnya menentukan perilaku kita.
Secara ilmiah, ia menambahkan, paradigma adalah “a constelation of beliefs, values, and techniques shared by the members of a given scientific community”. Menurut Kuhn paradigma tidak hanya bersifat kognitif, tetapi juga normatif. Paradigma bukan saja mempengaruhi cara berfikir kita tentang realitas, tetapi juga mengatur cara mendekati dan bertindak atas realitas. (Rahmat, Jalaluddin, 2003 : 8-9).
Sekarang kita menuju pembahasan tentang paradigma hukum positivistik. Istilah itu berawal dari positifisme yang merupakan aliran filsafat yang berkembang di Eropa kontinental khususnya di Perancis dengan beberapa eksponen yang terkenal khususnya, Henri Saint Simon (1760-1825) dan August Comte (1798-1857). Positifisme merupakan paham yang menuntut agar setiap metodologi yang dipikirkan untuk menemukam kebenaran hendaklah memperlakukan realitas sebagai sesuatu yang eksis, sebagai suatu obyek, yang harus dilepaskan dari sembarang macam pra-konsepsi metafisis yang subyektif sifatnya. Diapliksikan ke dalam pemikiran tentang hukum, positivisme menghendaki dilepaskannya pemikiran metayuridis mengenai hukum, sebagaimana dianut pemikir hukum kodrat. Karena itu setiap norma hukum harus eksis dalam alamnya yang obyektif sebagai norma-norma yang positif, ditegaskan sebagai wujud kesepakatan kontraktual yang kongkrit antara warga masyarakat (wakil-wakilnya). Hukum tidak lagi dikonsepsi sebagai asas moral metayuridis yang abstrak tentang hakikat keadilan, melainkan ius yang telah mengalami positifisasi sebagai lege atau lex. (Salman dan Susanto, 2005 : 79-80).
Atmosfir sosial politik yang melingkupi abad kesembilan belas pada waktu itu adalah ‘liberalisme’. Pikiran liberal ini berpusat pada kemerdekaan individu, dengan menata suatu kehidupan dimana kemerdekaan individu dijamin eksistensinya secara kuat. (Gunaryo (Ed.) , 2001 : 186).
Dalam hubungan ini, sistem hukum pun dijiwai oleh liberalisme dimaksud, sehingga sistem hukum liberal terbentuk dengan nilai yang mengandung rancangan, yang secara kuat memberikan perlindungan terhadap kemerdekaan individu. Konsekuensinya adalah bahwa dalam perkembangan berikutnya, sistem hukum yang mengandung kuat perlindungan terhadap kemerdekaan individu (protect the freedom of individual), meneguhkan dan menguraikan filsafat tersebut ke dalam hukum ; maka hal-hal yang berupa doktrin, asas, rule, dan perelengkapan hukum lainnya, juga diarahkan, terarahkan dan terancang untuk bergerak seturut nilai liberal tersebut. Dengan kata lain, sistem hukum liberal, tidak dirancang secara kuat untuk memberikan keadilan yang luas kepada masyarakat, melainkan secara kuat dirancang untuk melindungi kemerdekaan individu. (Raharjo dalam Gunaryo (Ed.), 2001 : 187).
Tokoh yang berpengaruh terhadap perkembangan positifisme hukum modern adalah H.L.A. Hart dalam bukunya yang berjudul The Concept of Law. Inti pemikirannya terletak pada apa yang dijelaskan olehnya sebagai primery rules dan secondary rules. Bagi Hart penyatuan tentang apa yang disebutnya sebagai primery dan secondary rules merupakan pusat dari sistem hukum, dan keduanya harus ada dalam sistem hukum. Primery rules lebih menekankan kepada kewajiban manusia untuk bertindak atau tidak bertindak.
Mengenai primery rules (aturan utama) terdapat dua model. Model yang pertama adalah primery rules yang di dalamnya terdapat apa yang disebut aturan sosial (social rule), yang eksis apabila syarat-syaratnya sebagai berikut terpenuhi ; pertama, adanya suatu keteraturan perilaku di dalam beberapa kelompok sosial, suatu hal yang umum dan banyak dijumpai dalam masyarakat. Untuk tercipta situasi atau kondisi demikian diperlukan penyesuaian yang menitikberatkan pada perlunya tekanan sosial dengan memusatkan kepada perbuatan (mereka) yang menyimpang (aspek eksternal). Kedua, aturan itu harus dirasakan sebagai suatu kewajiban oleh suatu (sebagian besar) salam anggota kelompok sosial yang relevan.
Sedangkan secondary rules “aturan tentang aturan” (rules about rules) apabila dirinci meliputi, pertama, aturan yang menetapkan persisnya aturan mana yang dapat dianggap sah (rules of recognition). Kedua, bagaimana dan oleh siapa dapat diubah (rules of change), dan ketiga, bagaimana dan oleh siapa dapat dikuatkan atau ditegakkan (rules of adjudication). (Salman dan Susanto, 2005 : 90-91).
Untuk lebih memperjelas pemahaman tentang hal ini bisa dilihat dalam The Concept of Law pada bab V tentang Law as The Union of Primary And Secondary Rules.
Arti positifisme itu sendiri menurut Hart adalah sebagi berikut (Diaz, 1976 : 451):
a) Hukum adalah perintah.
b) Analisis terhadap konsep-konsep hukum adalah usaha yang berharga untuk dilakukan. Analisis yang demikian ini berbeda dari studi sosiologis dan historis serta berlainan pula dari suatu penilaian kritis.
c) Keputusan-keputusan dapat dideduksikan secara logis dari peraturan-peraturan yang sudah ada lebih dulu, tanpa perlu merujuk pada tujuan-tujuan sosial, kebijakan dan moralitas.
d) Penghukuman (judgment) secara moral tidak dapat ditegakkan dan dipertahankan oleh penalaran rasional, pembuktian atau pengujian.
e) Hukum sebagaimana diundangkan, ditetapkan, positum, harus dipisahkan dari hukum yang seharusnya diciptakan, yang diinginkan. (Raharjo, 2003 : 267-268).
Tokoh lain mengenai positivisme yuridis adalah Austin, yang mempunyai paham bahwa hukum dipandang sebagai gejala tersendiri yang perlu diolah secara ilmiah. Tujuan positifisme adalah pembentukan strukur-struktur rasional sistem-sistem yuridis yagn berlaku. Sebab hukum dipandang sebagai hasil pengolahan ilmiah belaka, akibatnya pembentukan hukum menjadi makin profesioal. Dalam hal ini hukum juga merupakan closed logical system. Artinya, peraturan dapat dideduksikan dari undang-undang yang berlaku tanpa perlu meminta bimbingan dari norma sosial, politik, dan moral. (Salman dan Susanto, 2005 : 80-81).
Kondisi Sosiologis Indonesia
Indonesia, adalah salah satu negara yang menggunakan sistem hukum yang bercorak positivistik yang diadopsi dari penjajah, dalam hal ini adalah Belanda. Oleh karena itu untuk menjelaskan kondisi sosiologis Indonesia, menurut penulis, harus dimulai dari masa yang paling dekat dengan masuknya penjajah, yaitu masa permulaan Indonesia-Islam.
Secara historis, Indonesia sebelum masuknya penjajah adalah merupakan wilayah yang didominasi oleh latar belakang sosial dan budaya yang bercorak ke-Islam-an. Data yang valid tentang masuknya Islam ke wilayah nusantara masih diperdebatkan. Di dunia akademis, konsensus kesarjanaan mengakui adanya problem yang signifikan berkaitan dengan asal-muasal dan ikhwal persebaran Islam di Asia Tenggara, yang mungkin tidak akan pernah dituntaskan secara utuh karena kurangnya sumber-sunmber yang bisa dipercaya yang mencatat periode kontak dan konversi tersebut. Diakui memang sudah ada kalangan muslim di Jawa pada akhir abad ke-14 dan juga keraton Majapahit. (Namun) proses transisi dan konvensi penduduk Jawa tengah ke Islam bersifat gradual, tak merata dan terus berlangsung. Data tradisional mengenai jatuhnya majapahit, kerjaaan Hindu-Jawa besar terakhir, adalah tahun 1478. Sumber-sumber Cina menunjukkan bahwa komunitas-komunitas muslim sudah ada di kawasan pantai utara pada dekade-dekade awal abad ke-15. ( Woodward, 1999: 80).
Semua itu adalah merupakan fakta lunak (meminjam Dudung Abdurrahman) sedangkan fakta yang tidak mungkin dipungkiri (fakta keras) (Dudung Abdurrahman, 1999 : 8) adalah bahwa pada abad ke-18, Jawa sudah mengalami Islamisasi. (Riklefs dalam Zainul Milal Bazawie).
Pada masa penjajahan, sudah menjadi konsekunsi logis dari pernyataan di atas, penjajah harus berhadapan dengan para pejuang muslim. Dimana tertulis dalam lembar sejarah bangsa ini bahwa para ulama menjadi pemimpin dalam menghadapi penjajah.
Pada masa seputar kemerdekaan Indonesia, terjadi perdebatan dalam memilih bentuk negara yang berimbas pada sistem hukum yang digunakan. Perdebatan dalam wilayah politik Indonesia saat itu diwakili oleh Sukarnao dan M. Natsir. Bagi Sukarno, Islam adalah agama spiritualitas yang harus diberi tempat yang mulia sehingga ia “bersinggasana di dalam kalbu”. Sukarno tidak percaya bahwa Islam dapat dijadikan sebagai ideologi politik untuk menyelesaikan persolan-persoalan bangsa. Iapun tak ingin menjadikan Islam sebagai simbol-simbol perjuangan politik. Dan yang lebih penting, ia tidak percaya bahwa Islam akan mampu dijadikan “dasar negara” Indonesia yang terdiri atas beragam suku dan komunitas agama. Bagi Natsir, makna Islam berbeda secara asasi dengan makna subyektif yang diberikan Sukarno. Bagi dia, Islam bukan hanya agama spiritualitas, tetapi sebuah Weltanschaaung, suatu pandangan dunia yang lengkap. Natsir percaya bahwa Islam dapat ditransformasikan sedemikian rupa menjadi suatu ideologi politik. Ia pun menjadikan Islam sebagai simbol perjuangan politik, dan percaya bahwa Islam dapat dijadikan dasar sebuah negara modern yang pluralis dan demokratis. (Yusril Ihza Mahendra et.al., 1995 : 363).
Pada akhirnya sejarah mencatat bahwa kubu Soekarno memenangkan pertandingan, negara Indonesia modern memiliki corak yang lebih dekat dengan negara sekuler dengan menggunakan sistem hukum positif yang diadopsi dari Belanda.
Dalam bab di awal bahasan ini mengenai “Hukum dan Masyarakat” dijelaskan bahwa hukum adalah merupakan sebuah realitas yang dihasilkan melalui proses panjang dan melalui beberapa tahap. Namun untuk kasus Indonesia ternyata negara ini hanya “main comot” saja dalam masalah sistem hukum yang diterapkan.
Menurut Myrdal, negara-negara berkembang sekalipun dengan kadar yang berlainan adalah negara-negara yang yang lembek. Faktor yang berdiri di belakang kelembekan diantaranya adalah : “perundang-undangan yang main sikat” (sweeping legislation). Perundang-undangan yang demikian ini dimaksudkan untuk memodernisasikan masyarakat dengan segera, berhadapan dengan keadaan masyarakat yang umumnya diwarisi, yaitu otoritarianisme, paternalisme, partikularisme dan banyak ketidakteraturan lainnya. (Raharjo, 2003 : 230).
Letak kesalahan “main sikat” dalam perundang-undangan tersebuat adalah bahwa Eropa, tempat bercokolnya hukum positivistik, mengalami sejarah yang “mulus”, tidak seperti Indonesia dan negara-negara terjajah di Asia Selatan, dimana kolonialisme telah membawa negara-negara tersebut menuju kemerosotan organisasi sampai di tingkat pedesaan. Adanya tekanan untuk mengintroduksikan pemilikan tanah secara Barat, ekonomi yang didasarkan pada uang, administrasi kolonial yang terutama ditujukan untuk mengumpulkan pajak dan mengembangkan ketertiban dan ketentraman, menyebabkan melemahnya sistem hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang asli. Tradisi otoriter yang ada sebelum masa penjajahan dengan datangnya kolonialisme itu malah diperkuat oleh pemerintahan kolonial dan dialihkan kepada paternalisme. Dalam sistem yang demikian ini rakyat menjadi terbiasa untuk diperintah, tetapi juga sedapat mungkin berusaha untuk menghindarkan diri. Itu semua menyebabkan, bahwa kontrol oleh masyarakat terhadap tindakan-tindakan pemerintah menjadi lemah. (Raharjo, 2003 : 231).
Hukum Positivistik Versus Korupsi
Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa penerapan hukum bercorak positivistik di Indonesia mempunyai beberapa kelemahan, yaitu :
1. Hukum positivistik tidak mempunyai akar yang kuat, karena ia berasal dari alam sosilogis yang berbeda dengan Indonesia. Dia tak lebih hanyalah “perundang-undangan yang main sikat” (sweeping legislation). Perundang-undangan yang demikian ini dimaksudkan untuk memodernisasikan masyarakat dengan segera, karena waktu yang cukup mendesak pada saat itu untuk mendirikan sebuah negara merdeka dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Kerapuhan akar hukum positivistik tersebut juga disebabkan karena bangsa Indonesia sudah begitu akrab dengan adanya hukum adat dan corak hukum ke-Islam-an yang telah lama melingkupinya.
2. Syarat untuk menerapkan hukum menurut Hart adalah bahwa aturan itu harus dirasakan sebagai suatu kewajiban oleh suatu (sebagian besar) anggota dalam kelompok sosial yang relevan. Namun yang terjadi di Indonesia, karena tidak mengakarnya hukum yang diterapkan, adalah bahwa masyarakat Indonesia tidak mempunyai kesadaran hukum yang cukup tinggi.
3. Sistem hukum liberal, yang mendasari munculnya corak hukum positivistik, tidak dirancang secara kuat untuk memberikan keadilan yang luas kepada masyarakat, melainkan secara kuat dirancang untuk melindungi kemerdekaan individu. Akibatnya dia tidak mampu membendung arus pelanggaran hukum yang dilakukan secara massif.
Sekarang saatnya kita menghadapkan hukum positivistik pada masalah korupsi, kolusi, dan nepotisme yang sekarang ini merebak dan menjadi isu utama di negara ini.
KKN, begitu biasanya ia dikenal, adalah merupakan kejahatan kemanusiaan yang mengakibatkan kerugian bagi negara.
Jika dilacak lebih jauh, bisa dikatakan bahwa pusat dari tiga penyelewengan, yaitu korupsi, kolusi dan nepotisme di atas, bisa diringkas dalam satu kata, “korupsi”, karena istilah korupsi mempunyai bentuk bernacam-macam. Dan secara sederhana ia berarti penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi. (Ackerman, 2006 : 127).
Ada berbagai jenis korupsi yang melanda birokrasi, antara lain :
Discretionery corruption, yaitu korupsi yang dilakukan karena adanya kebebasan dalam menentukan kebijaksanaan, sekalipun nampaknya bersifat sah, bukanlah praktek-praktek yang dapat diterima oleh para anggota organisasi. Misalnya petugas pengawas yang seolah-olah melakukan pengawasan tanpa benar-benar berbuat yang sesungguhnya. Di sini tidak ada peraturan yang dilanggar, karenannya resikopun dapat diperkecil. Jenis korupsi seperti ini sangat sulit, kalau bukan tidak mungkin dideteksi, karena kita tidak dapat dengan mudah memastikan dimana dan kapan ia berlangsung.
Illegal corruption, yaitu korupsi seperti terungkap dari namanya, adalah suatu jenis tindakan yang bermaksud mengacaukan bahasa ataupun maksud-maksud hukum, peraturan dan regulsi tertentu. Dalam hal terjadinya aksi-aksi seperti ini, resiko yang akan terjadi cukup implisit. Jenis korupsi seperti ini bisa saja dilakukan oleh seseorang dengan tingkat efektifitas tertentu, namun sebaliknya, ia jauh lebih mungkin untuk dikendalikan. Untuk melakukannya diperlukan tingkat kerahasiaan yang cermat.
Mercenery corruption, yaitu suatu jenis korupsi yang dimaksud untuk memperoleh keuntungan pribadi. Ia meliputi kegiatan pemberian uang sogok dan uang semir. Korupsi seperti ini dapat disebuat sebagai suatu tindakan penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan yang dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan material dan politis. Ia bisa bersifat ilegal mapupun terjadi karena adanya kekuasaan untuk mengeluarkan kebijaksanaan. Misalnya, petugas pengawas yang menerima uang dari suatu perusahaan industri yang menghasilkan limbah, sebagai uang semir agar hasil olahan limbah dinyatakan baik, meskipun faktanya tidak memenuhi standar.
Ideological corruption, yaitu jenis korupsi baik yang bersifat ilegal maupun diskresioneri yang dimaksudkan untuk mengejar tujuan-tujuan kelompok. Misalnya, kasus KKN mantan presiden Suharto dan kroninya, dimana aparat penegak hukum khususnya kejaksaan lebih memberikan komitmen ideologis mereka kepada mantan presiden Suharto dan kroninya ketimbang kepada undang-undang dan hukum. (Guy Bensevite dalam Gunaryo (Ed.), 2001 : 354-355).
Korupsi adalah sebuah fenomena yang timbul karena berbagai sebab, hal itu bisa dilihat, misalnya, dari aspek ekonomi, politik, dan kebudayaan. Ia muncul dan merebak karena adanya ketidakberesan dalam tiga hal tersebut.
Jadi, untuk menanggulangi korupsi kita harus membahas aspek-aspek yang memunculkan fenomena tersebut. Jika ingin memberantas tanaman pengganggu, kita harus tahu dimana akarnya sehingga kita bisa mencabut, atau paling tidak melemahkan akar tanaman pengganggu tersebut, sehingga lama-kelamaan ia akan melemah dan akhirnya mati.
Dari aspek ekonomi, korupsi bisa muncul karena permasalahan-permasalahan yang bersifat ekonomis yang dihadapi suatu bangsa. Dalam skup yang luas, hal ini bisa disebabkan karena pemerintah sering memberikan barang dan jasa secara bebas atau menjualnya dibawa harga pasar. Sering terdapat dua harga-harga negara yang rendah dan harga pasar bebas yang lebih tinggi. Perusahaan-perusahaan berusaha menyuap para pegawai guna mendapat akses ke pasokan negara dengan harga di bawah harga pasar. Di Tiongkok, misalnya, sebagian barang produksi dijual dengan harga di bawah harga pasar. Meskipun perbedaan harga terus berkurang pada tahun-tahun belakangan ini, harga-harga subsidi itu pernah sangat mewabah pada suatu ketika. Para peneliti Tiongkok melaporkan bahwa pada tahun 1989, harga pasar untuk batu bara disubsidi sebanyak 674 %. Harga pasar untuk tujuh jenis barang produksi lainnya bervariasi dari 250 % hingga 478 % dari harga resmi negara. Tidaklah mengherankan bahwa penyuapan untuk memperoleh pasokan berdasarkan harga negara dilaporkan menjadi teramat umum. Di Negeria, ketika harga minyak diatur secara artifisial sehingga relatif lebih rendah daripada harga di negera tetangganya Benin, penyelundupan yang difasilitasi oleh korupsi tampaknya tersebar luas. Perbedaan harga memberikan keuntungan, baik kepada para penyelundup maupun kepada para pegawai yang dibayar untuk mengabaikan perdagangan ilegal tersebut. (Ackerman, 2006 : 12-13).
Hal ini adalah merupakan fenomena umum yang dihadapi semua negara, terutama negara-negara berkembang, dimana Indonesia masuk di dalamnya.
Mengenai masalah politik, dalam hal ini korupsi merupakan gambaran hubungan antara negara dan sektor swasta. Kadang-kadang petugas negara yang menjadi pelaku dominan; kadang-kadang pelaku swasta yang paling berkuasa. Kekuasaan tawar-menawar relatif antara kelompok ini menentukan dampak keseluruhan korupsi terhadap masyarakat dan pembagian keuntungan antara penyogok dan yang disogok. (Ackerman, 2006 : 157).
Untuk kasus Indonesia hal ini bisa dilihat dari praktek Suharto yang mendukung sejumlah swastanisasi yang mengakibatkan pengalihan aset-aset ke perusahaan yang dikontrol oleh anak-anak serta kroni-kroninya. (Ackerman, 2006 : 164).
Dari aspek budaya, korupsi bisa muncul karena latar belakang kebudayaan yang permissif terhadap tindak korupsi. Seperti munculnya sikap-sikap yang mewajarkan dan menyuburkan KKN, yang tercermin dari anekdot-anekdot dalam masyarakat, seperti : kalau memiliki jabatan tapi tidak bisa memanfaatkan adalah orang yang bodoh ; punya famili pejabat kalau tidak dapat memanfaatkan adalah orang yang bodoh ; punya relasi atau teman pejabat kalau tidak bisa dimanfaatkan adalah percuma ; dan lain-lain anekdot yang menggambarkan sikap dan tanggapan masyarakat terhadap KKN. Ketika KKN ini menjadi sesuatu yang terlihat wajar oleh kalangan luas, maka ia meulai ‘menggurita’ dan masuk ke dalam setiap sektor pelayanan publik. Mulai dari proyek-proyek raksasa, seperti proyek Waduk Kedung Ombo, Pembangkit Tenaga Listrik Paiton, eksploitasi hutan Kalimantan, dan lain-lain sampai dengan hal-hal yang menyangkut secara fisik kebutuhan pelayanan masyarakat, seperti pelayana SIM, KTP, maupun berbagai izin yang sejenisnya yang semakin hari semakin beragam, dan berubah menjadi layaknya komoditas. Akibatnya reaksi publik terhadap perbuatan KKNini menjadi tidak terlalu kentara, terlebih karena kalangan menengah dan elit masyarakat justru berkembang melalui proses KKN, dan banyak diuntungkan oleh KKN ini. (Gunaryo (Ed.), 2001 : 189).
Karena begitu akutnya penyakit KKN yang menjangkiti setiap lini kehidupan masyarakat, yang muncul karena pengaruh aspek ekonomi, politik, sosial dan budaya, maka penyelesaian kasus ini pun harus dilakukan dari seputar aspek-aspek tersebut.
Sekarang kita akan menjawab pertanyaan inti dalam makalah ini, mampukah hukum positivitik menyelesaikan kasus-kasus KKN dengan perangkat yang telah ada?
Pemerintah Indonesia dalam hal penyelesaian KKN sudah membuat Undang-Undang Nomor 3 tahun 1971 tentang tindak korupsi dan Undang-Undang nomor 31 tahun 1999. Tetapi hal itu sangat jauh dari kepentingan dan rasa keadilan masyarakat. Sebagai contoh kasus KKN pada PDAM semarang yang dengan kerugian senilai Rp. 168.000.000-, ternyata pelakuknya hanya dituntut enam bulan penjara dan denda sebesar Rp. 5.000.000-,. Tetntu sangat menyinggung rasa keadilanmasyarakat, bila dibandingkan dengan pelaku pencurian ayam yang pada umumnya tiga bulan penjara. (Raharjo dalam Gunaryo (Ed.), 2001 : 203).
Dengan adanya Undang-Undang tersebut juga tidak mengurangi jumlah korupsi yang muncul, namun dalam kenyataannya korupsi makin menjadi-jadi dan negara tidak mampu menyelesaikannya dengan baik.
Berita yang paling hangat adalah tentang pengadilan mantan presiden Suharto yang diduga korupsi pada tujuh yayasan yang dipimpinnya. Ternyata kasus pengadilan Suharto harus terhenti sebelum sampai finish, masyarakat Indonesia pun merasa dirugikan, hingga terjadi demo di banyak tempat.
Ini semua menujukkan kegagalan sistem hukum positifitik dalam menangani korupsi. Hal ini, menurut penulis, bukan melulu karena sisitem hukumnya, tapi karena masalah korupsi tidak mungkin hanya diselesaikan melalui jalur hukum saja. Namun harus dilihat dari beberapa aspek sebagimana yang dijelaskan pada paragraf-paragraf di atas.
Mungkin, kita bisa meniru langkah Singapura dalam menangani korupsi. Karena diantara negara-negara Asia, ia berdiri tersendiri sebagai suatu tempat usaha yang relatif bersih. Korupsi memang ada namun tidak berakar, padahal pada masa kolonial korupsi merajalela di sana. Bagiamana negara ini bisa mencapai prestasi yang demikian? Pada masa awal setelah Perang Dunia II, pegawai negeri bergaji rendah dan kurang diawasi. Suap meyebar luas di jajaran kepolisian. Ketika People Action’s Party merebut kekuasaan, pemberantasan korupsi menjadi prioritas utama. Sebagai bagian dari strategi, Pemerintahan PAP memperkuat Corrupt Practices Investigation Bureau (Biro Pelacakan Kegiatan Korup). Sejak tahun 1970 biro ini berada dibawah Perdana Menteri. Singapura juga mewajibkan semua kementrian untuk meninjau cara kerja mereka dengan maksud untuk mengurangi insentif berkorupsi. Strategi yang dicapai antara lain mencakup pengurangan keterlambatan kerja, rotasi petugas dan meningkatkan supervisi. Negara mengurangi insentif untuk korupsi dengan membuat para pegawai mempunyai kepentingan dalam pekerjaan mereka melalui gaji yang tinggi, bonus, dan suasana kerja yang membantu. Maksudnya adalah agar penghasilan menjadi kira-kira sama dengan penggajian di sektor swasta. (Klitgard dan Quah dalam Ackerman, 2006 : 221-222).
Artinya dengan adanya kesungguhan untuk menutup pintu masuknya korupsi dan penanganan yang serius terhadap tidak korupsi, maka akan bisa meminimalisir jumlah kasus korupsi. Tetangga kita Singapura telah melakukan itu, tentunya kita sebagai tetangga yang berinisiatif untuk memberantas korupsi harus belajar darinya.
Sebab Hukum Bukan Segalanya
Jelas sudah bahwa permasalahan korupsi tidak akan mampu jika hanya dijangkau dengan jalur hukum saja. Ia harus didekati dari pintu-pintu yang mana korupsi bisa masuk melalui pintu tersebut.
Jika kita masih mempertahankan sistem hukum positivistik kita yang ada selama ini, tetunya tidak menutup kemungkinan untuk menambal sulam kelemahan-kelemahan yang sudah terdeteksi, sebagimana telah diuraikan di atas. Begitu pula kita bisa menambahkan hal-hal yang perlu untuk memepercantik citra hukum kita. Hukum bukan merupakan harga mati, ia menerima masukan-masukan dari manapun sejauh masukan itu sesuai dengan ciri dan watak bangsa ini. Kekakuan dalam sistem hukum dalam hal ini berarti anti kemajuan dan harus kita tolak.
Sebagai misal, jika kita yakin “potong tangan” mampu menakuti para koruptor dan berimbas pada minimalnya tindak korupsi mengapa kita tidak menggunakannya? sebagimana yang dilakukan Rusia, atau hukuman mati sebagaimana yang dilakukan oleh pemerintahan China.
Penutup
Negara Indonesia adalah negara hukum dan negara agama, namun di sisi lain ia juga negara terkorup, sungguh sangat ironis. Aku malu menjadi orang Indonesia, meminjam bahasa Taufik Ismail.
Untuk memberantas korupsi diperlukan usaha yang sungguh-sungguh dari seluruh komponen bangsa ini dan dari berbagai bidang ; ekonomi, politik, dan budaya. Kesungguhan pemerintah yang dibarengi dengan semangat rakyatnya untuk bangkit dari keterpurukan, merupakan modal utama untuk menuju jalan yang mulus dalam menangani korupsi.
Sektor hukum, yang diangkat sebagai panglima perang dalam memerangi tindakan penyelewengan yang terjadi, harus mampu menunjukkan taringnya sehingga para penjahat kemanusiaan akan merasa takut dengan keberadaannya.
Terakhir, sebagai negara beragama, pemahaman yang benar terhadap ajaran agama dan ketaatan menjalankannya akan menjadi pendukung untuk mengurangi tindak korupsi yang menghitamkam langit-langit banga ini.
Semoga tulisan ini bermanfaat.
Cilacap, 3 Juli 2006
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Dudung, Metode Penelitian Sejarah, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999.
Bazawie, Zainul Milal, Perlawanan Kultural Agama Rakyat : Pemikiran dan Paham Keagamaan Syekh Ahmad Mutamakkin dalam Pergumulan Islam dan Tradisi (1645-1740), Yogyakatra : SAMHA, 2002.
Gunaryo (Ed.)., Ahmad, Hukum, Birokrasi, dan Kekuasaan di Indonesia, Semarang : Walisongo Research Institute (WRI), 2001.
Hart, H.L.A., The Concept of Law, Oxford : Clarendon Press. Second Edition, 1994.
Mahendra et.al.,Yusril Ihza, Kontekstualisasi Ajaran Islam, 70 tahun Prof. Dr. Munawir Sadzali, MA, Jakarata : IPHI dan Paramadina, 1995.
Raharjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Bandung : Citra Aditya Bakti, cet. v, 2000.
Rahmat, Jalaluddin, Dahulukan Akhlak di atas Fikih, Bandung : Muthahhari Press, cet. ii, 2003.
Rose, Susan dan Ackerman, Corruption and Government; Causes, Consequences, and Reform, (terj. Korupsi dan Pemerintahan ; Sebab, Akibat dan Reformasi), Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 2006.
Salman, Otje dan Susanto, Anton F, Teori Hukum ; mengingat, mengumpulkan, dan membuka kembali, Bandung : Refika Aditama, cet. ii, 2005.
Soekanto, Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta : Raja Grafindo Persada, cet. xxvi, 2003.
Woodward, Mark R., Islam in Java : Normative Piety and Mystisicsm in The Sultanate of Yogyakarta (terj.), Yogyakarta : LKiS, 1999.